Hari ini bertanggal 13 April 2013, aku menjalani rutinitas sebagai seorang mahasiswa, banyak hal yang aku lakukan hari ini. Begitu luar biasa ketika aku bisa menjadi prabadi yang tidak hanya menerima kehidupan begitu saja dan menjalankannya dengan begitu saja. Berawal ketika perkuliahan tidak diselenggarakan, dikarenakan kesibukan dosen yang luar biasa, sehingga tanggung jawab yang seharusnya mereka pegang teguh menjadi hal yang tidak begitu penting lagi. Mereka menciptakan dilema dalam dunia pendidikan. Aku melihat ini tidak hanya selalu memberatkan pihak dosen saja, karena apa mereka seperti itu? Melakukan hal-hal lain di luar kegiatan akademik mereka. Ternyata di negara ini Indonesia yang kita banggkan ini, masih tidak menghargai pendidikan, memang di Indonesia diberikan sekolah gratis hingga 12 tahun, tetapi itu tidak menjamin negara memberikan hal baik dalam dunia pendidikan di Indonesia, mengapa? Karena bagaimana seorang pengajar bisa mentransferkan ilmu dengan fokus, kalau mereka sangat mempersoalkan keberlangsungan hidup mereka. Negara tidak memberikan jaminan hidup yang baik kepada para pengajar di sekolah maupun di tingkat universitas. Mereka juga disibukkan dengan apa yang akan mereka makan hari ini. Sehingga banyak staff pengajar mencari tambahan penghasilan di luar kegiatan akademik mereka, sehingga perhatian mereka terpecah dan terganggu. Itu yang terlintas dibenakku ketika aku merasa kesal dengan apa yang terjadi hari ini, aku tidak boleh hanya menyalahkan dosen, aku harus melihat hal-hal lain.
Aku bergegas menyandang ranselku, aku hendak pulang kembali ke duniaku, kost. Dimana aku bisa mengekspresika diriku sebebas-bebasnya di sana. Tentunya tidak mengganggu mereka yang bertetangga denganku, misalnya seperti bernyanyi dengan suara yang lantang yang belum tentu nyaman didengar orang.
Dalam perjalananku dari kampus ke kost, aku melewati beberapa hal yang membuat aku berpikir, karena semua hal tidaklah harus diterima begitu saja menurutku, kita harus memahami dan mempersoalkannya. Supaya kita tidak seperti orang yang tidak tahu apa-apa, dan hanya menerima apa yang terjadi ya semua adalah takdir. Pertama ketika aku masih di lingkungan universitas dimana disana berdiri bangunan-bangunan mewah yang mungkin dimiliki sebagian dosen yang mengajar di universitas ini, atau mungkin pembisnis yang tinggal di dalam lingkingan kampus universitas ini. Siapa yang tahu, yang jelas sebagian besar memang banyak dosen yang tinggal disini. Itu informasi yang tersebar di kalangan mahasiswa disini tentnya.
Pertama, aku melihat keluarga kaya yang tinggal di lingkungan kampus ini, mereka kelihata sangat terhormat, karena harta dan jabatan yang mereka miliki ya. Begitu bahagianya mereka menurutku, apa saja yang mereka inginkan, pastilah mereka mampu untuk memperolehnya. Mereka ingin masuk kedalam rumah, kemudian sang istri keluar dari mobil yang mewah hendak membukakan pintu untuk memasukkan mobil mereka. Setelah mobil masuk, kemudian datang keluarga yang kelihatan kumuh mendatangi tong sampah yang terdapat didepan rumah si keluarga kaya yang kau lihat tadi, mereka berusaha mencari sesuatu yang ada di dalam tong sampah, mencari sesuatu yang bisa mereka manfaatkan untuk bisa mereka ambil dan mereka jual, dan uangnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang sangat menderita. Pemandangan yang sangat kontras yang kulihat, begitu luar biasa menurutku, si kaya dan si miskin, kesenjangan sosial yang sangat renggang. Dan itu terdapat di negara Indonesia yang kaya dengan SDA-nya. Mungkin umumnya orang melihat apa yang ku lihat hari ini akan menganggap itu hal yang biasa, pastinya mereka menerima kondisi itu, kondisi kesenjangan yang sangat renggang. Mengapa? Karena tidak semua orang memiliki kesadaran untuk memakai otaknya memikirkan hal-hal seperti ini, terlalu nggak penting mempersoalkan hal-hal yang nggak penting seperti itu. Ya, pastinya akan seperti itu ditanggapi. Beda dengan aku, karena semua nggak harus diterima begitu saja. Mengapa hal itu bisa terjadi di Indonesia yang kaya dengan SDA-nya?. Apa yang terjadi?, kenapa kesenjangan yang renggang itu bisa muncul?. Itu perlu kita pikirkan, dimana kita hidup di negara Indonesia, yang juga itu sudah barang tentu persoalan kita sebagai bangsa Indonesia. Itu adalah masalah kita. Harusnya, kesenjangan itu tidak bisa begitu renggang, memang kita nggak bisa menghapus kesenjangan, tetapi kan kesenjangan itu tidak harus renggang begitu besar. Apa itu karena manusianya? Si miskin menjadi miskin karena mereka adalah manusia-manusia yang malas, atau karena itu sudah ketentuan Tuhan, takdir mereka sebagai orang yang miskin. Siapa yang tahu, yang jelas mereka susah, untuk makan aja susah, gimana mau miikir.
Ah, sepertinya bukan hal yang seperti yang harus kita pikirkan, keluarga miskin tadi tidak harus mendatangi tong-tong sampah yang mereka temui di tiap jalan. Mereka harusnya hidup lebih baik lagi, apalagi mereka tinggal di Indonesia, apa sih yang nggak enak di Indonesia? Tetapi, kenapa mereka susah?, apa yang salah?. Oh mereka manusia yang malas, “bukan” mereka tidak nasib aja jadi orang kaya, Tuhan sudah menentukan mereka menjadi orang susah. Ah, bingung.
Oh ya, tadikan aku bilang negara Indonesia yang kaya, ya Indonesia. Kaya dengan alamnya, tapi miskin daya manusianya. Ya, disanalah letak permasalahannya, kita tidak siap dengan kekayaan yang begitu besar, sehingga kita tidak mampu mengelolanya, kita bodoh ya? Ah tidak, tetapi kenapa kita tidak bisa memanfaatkannya? Bodoh itu namanya. Tetapi itu kembali kekitanya, apakah kita mau menjadi bangsa yang bodoh, itu aku kembalikan ke setiap diri orang-orang yang mengaku sebagai orang Indonesia.
Bagaimana dengan orang yang berkuasa di Indonesia? Mereka yang memiliki peran penting dalam pengelolaan SDA kita yang kaya ini, apakah ini kesalahan mereka? Apakah yang bodoh mereka sebenaranya, tetapi kalau mereka bodoh, tidak mungkin mereka menjabat menjadi orang yang bertanggung jawab di pemerintahan, ah bukan. Mereka adalah orang-orang yang hebat. Siapa yang tahu ya.
Kepentingan mereka sepertinya yang mereka dahulukan, sehingga SDA kita ini dikuasai oleh bangsa asing, mereka berkompromi dengan orang asing, sehingga kita sebagai bangsa yang kaya ini tidak bisa memanfaatkan SDA kita ini. Merek egois, mereka memperkaya diri mereka, sehingga masyarakat tidak mereka sejahterakan. Itu kali ya yang membuat kesenjangan yang renggangnya sangat besar. Ya, aku pikir seperti itu, apakah kita harus diam dengan tingkah orang-orang yang korup itu. Apa kita harus menerima itu begitu saja. Jawabnya tentu “tidak”.
Kedua, ketika aku sebagai pejalan kaki, melihat hiruk pikuknya kendaraan bermotor yang memadati jalan. Begitu banyak, baik sepeda motor maupun kendaraan roda empat. Aku sebagai pejalan kaki tidak lagi merasa nyaman dan aman menyusuri jalanku pulang ke kost. Aku berpikir lagi, wah bangsa kita ini tingkat konsumerisnya tinggi sekali ya. Apa aja produk baru yang ditawarkan pastilah laris manis di Inonesia. Namun, masalahnya bukanlah disana, tetapi mesin-mesin itu siapa yang produksi? Bangsa Indonesia kah? Atau?. Yah, ternyata itu produk orang asing, nggak ada kita yang memakai produk dalam negeri. Bagaiamana mau memakai produk dalam negeri, negeri ini aja nggak ada memasarkan bahkan memproduksi mesin secara masal. Ah, gimana ini, bangsa yang kaya akan SDA nya, membeli produk buatan asing, padahal bahan-bahan dasarnya itu sebagian besar berasal dari Indonesia. Memang bangsa ini bodoh ya, ah “tidak” mereka yang di pemerintahanlah yang bodoh, tidak juga mereka. Jadi apa yang salah, kenapa kita tidak memproduksi barang seperti itu? Nggak sanggup kali ya. Padahal, anak bangsa kita sudah mampu membuat kendaraan roda empat, namun pemerintahan yang memfasilitasi mereka untuk memproduksi hasil karya mereka yang luar biasa itu. Oh, pemerintah, kalian mau apa sih. Kaya ajak-ajak kami dong bangsa Indonesia ini.
Ketiga, ketika kaki telah menuntaskan langkah kakinya di tujuan akhirku, kost. Aku melewati kamar 1, pintunya sedikit terbuka, dan saat itu tepat pukul 14.00 WIB. Kulihat dua pemuda yang tidur dengan pulasnya, setahuku dari pagi hingga siang mereka masih di dalam ruangan itu tanpa melakukan aktifitas. Apakah sedari pagi tadi hingga sekarang ini mereka hanya tertidur, tanpa melakukan hal-hal lain. Malas kali ya, ini lah gamabaran pemuda bangsa saat ini, umumnya hanya bersenang-senang dan bermasalas-malasan saja yang mereka lakukan. Yah, itulah fenomena disekitar kita, tidak harus kita terima begitu saja, harusnya kita mempersoalkan itu. Karena itu bukanlah takdir, bukanlah terajadi begitu saja. Gunakan alam pikir kita, untuk menjawab persoalan-persoalan kehidupan ini, supaya kehidupan ini menjadi lebih baik lagi.Itulah yang ingin ku sampaikan, aku terus berjuang untuk berpikir, aku terus bertanya-tanya, mencari jawaban-jawaban. Karena begitu banyak perspektif yang bisa kita pakai. Berpikirlah, jadilah lebih baik lagi.
Ketiga, ketika kaki telah menuntaskan langkah kakinya di tujuan akhirku, kost. Aku melewati kamar 1, pintunya sedikit terbuka, dan saat itu tepat pukul 14.00 WIB. Kulihat dua pemuda yang tidur dengan pulasnya, setahuku dari pagi hingga siang mereka masih di dalam ruangan itu tanpa melakukan aktifitas. Apakah sedari pagi tadi hingga sekarang ini mereka hanya tertidur, tanpa melakukan hal-hal lain. Malas kali ya, ini lah gamabaran pemuda bangsa saat ini, umumnya hanya bersenang-senang dan bermasalas-malasan saja yang mereka lakukan. Yah, itulah fenomena disekitar kita, tidak harus kita terima begitu saja, harusnya kita mempersoalkan itu. Karena itu bukanlah takdir, bukanlah terajadi begitu saja. Gunakan alam pikir kita, untuk menjawab persoalan-persoalan kehidupan ini, supaya kehidupan ini menjadi lebih baik lagi.Itulah yang ingin ku sampaikan, aku terus berjuang untuk berpikir, aku terus bertanya-tanya, mencari jawaban-jawaban. Karena begitu banyak perspektif yang bisa kita pakai. Berpikirlah, jadilah lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar