BAB I
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Birokrasi
merupakan salah satu lembaga pemerintah tertua dalam sejarah peradaban sosial.
Hal tersebut dimulai sekitar 10.000m tahun yang lalu dari susa kuno yang
merupakan salah satu daerah di Iran. Selanjutnya, birokrasi berkembang di dunia
antara lain Persia kuno, China, Mesir dan kemudian ke Romawi. Pada awal
perkembangannya birokrasi lebih banyak berperan sebagai alat kekuasaan,
pelaksanaan pekerjaan publik, perencanaan dan pelaksanaan karya monumental
seperti Terusan Suez, Tembok China dan Piramida. Namun demikian, disisi lain,
sejarah juga telah mencatat birokrasi sebagai alat mensejahterakan mastyarakat.
Misalnya, Birokrasi Persia disebut sebagai excellent administratorsand second
to none in human historyz. Keberhasilan birokrasi tersebut di bangun sejak
kekaisaran Achmaednid pada tahun 559 SM dan berlangsung selama lebuh dari 320
tahun. Prinsip yang diterapkan dalam excellent administrators meliputi tolerant
governance dengan menghormati norma setempat dan budaya, kebebasan agama dan
asosiasi, pendidikan gratis, freedom from slavery, dan “dual organizational
structure” yakni sentralisasi dan desentralisasi yang memungkinkan
fleksibilitas maksimum dalam administrasi publik. Dalam perjalanan sejarah,
birokrasi selalu memiliki posisi yang sangat strategis serta memiiki kekuatan
besar dalam menentukan pencapaian tujuan tersebut tidak dapat terlepas dari
peran birokrasi sebagai administrators. Birokrasi merupakan lembaga yang
membuat dan melaksanakan kebijakannya. Dengan demikian, birokrasi dalam
menjalankan tugas dan fungsinya harus professional dan netral.
Professional
birokrasi adalah setiap pelaksananya merupakan orang-orang ahli dalam
bidangnya. Sedangkan netral adalah birokrasi tidak memihak kepada kekuasaan
lainnya seperti politik, dan lainnya. Hal tersebut penting dilakukan karena
birokrasi memiliki tugas memberikan pelayanan umum kepada seluruh masyrakat.
Sehingga pelayanan diberikan tidak membeda-bedakan aliran politik, suku, agama,
dan lain sebagainya. Pelayanan birokrasi seharusnya dilakukan secara
prefosional. Hal ini penting karena penting karena pelayanan yang diberikan
meliputi seluruh bidang kehidupan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan,
penyediaan sarana dan prasarana, ketertiban dan keamanan, dan lain sebagainya.
Max
Weber sebagai Bapak Birokrasi menyampaikan bahwa Birokrasi ideal memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1.
A formal hierarchical structure
2.
Management by rules
3.
Organization by functional specialty
4.
An “up-focused” or “in-focused” mission
5.
Purposely impersonal
6.
Employment based on technical qualifications
7.
Predisposition to grow in staff “above the
line.”
Dalam
pelaksanaan yang seharusnya, birokrasi harus berhadapan dengan ruang publik
sebagai pelayanan administarsi publik, namun karena adanya kekuatan yang
dimiliki oleh para birokrat dalam hal penguasaan informasi dan dominasi mereka
terhadap masyarakat, mau tidak mau posisi masyarakat yang bisa dikatakan
sedikit dibawah mereka sehingga para birokrat melakukan penyelewengan kekuatan
yang mereka miliki. Dan juga, para birokrat dalam hal pelaksanaan kegiatan
mereka tidak lepas dari ruang politisi dan para politisi, sehingga para
birokrat juga harus menyesuaikan diri ketika berhadapan dengan para politisi
yang tidak menutup kemungkinan bahwa mereka pun akan melibatkan diri mereka dan
posisi mereka sebagai birokrat dalam kegiatan politik. Sehingga itu menyebabkan
kepentingan-kepentingan mereka sendiri, dan pelayanan public pun mereka bisa
mengkesampingkannya.
Belum
lagi munculnya persepsi bahwa birokrasi sangat memungkinkan terjadinya korupsi,
kolusi dan manipulasi. Hal itu merupakan rangkaian pernyataan yang meminta
pertanggung jawaban tidak hanya secara politisi tetapi juga moral. Salah satu
aspek yang sering kali muncul dalam organisasi birokrasi adalah korupsi.
Birokrasi
memiliki dominasi dalam hal diskresi, sehingga dengan adanya dominasi tersebut,
sering atau acapkali birokrasi menyelewengkan dominasi mereka tersebut untuk
kepentingan mereka, bahkan birokrasi mampu mempengaruhi suatu sistem di
masyarakat umum karena dominasi mereka tadi. Juga, birokrasi memiliki informasi
yang lebih dibandingkan dengan masyarakat, mengenai sistem-sistem di
pemerintahan, dan banyak hal lain yang menyangkut kehidupan masyarakat yang
luas, sehingga penguasaan informasi yang luas yang mereka miliki mampu
mempengaruhi tingkah laku masyarakat karena mereka memiliki nilai lebih yakni
penguasaan informasi tersebut. Sehingga hal-hal tersebut mampu mempengaruhi
birokrasi untuk berindak di luar jalurnya.
Juga,
bagaimana posisi birokrasi ketika menghadapi pemerintahan dimana dalam sistem
pemerintahan terdapat para politisi yang memiliki kepentingan sehingga
birokrasi pun menjadi alat atau kepentingan bagi para politisi. Mau tidak mau, birokrasi pun terlibat atau ikut andil
dalam proses kegiatan para politisi.
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang belakang,
dikatakan bahwa adanya akuntabilitas birokrasi dan netraslitas birokrasi,
sehingga muncul permasalahan apa sesungguhnya akuntabilitas birokrasi dan apa
yang seharusnya dijalankan oleh birokrasi, perlukah netrallitas birokrasi?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Birokrasi
Secara etimologi istilah birokrasi
birokrasi berasal dari kata bureau (bahasa
Perancis) yang berarti “meja tulis” dan Kratos
(bahasa Yunani) yang berarti “pemerintahan”. Dapat dipahami bahwa birokrasi
adalah orang-orang yang bekerja di balik meja tulis di kantor-kantor. Dan
pengertian tersebut kemudian makin berkembang. Dalam kontek politik birokrasi
diartikan sebagai wujud dari aparat pemerintahan negara dalam melaksanakan
kebijakan-kebijakan tersebut melalui serangkaian tahapan atau biro-biro yang
masing-masing diberi mandat atau dalam menentukan suatu tahap kebijakan yang
disesuaikan dengan kondisi dan situasi
tentang kasus yang dihadapi.
Pengertian Birokrasi menurut Weber
yang menyatakan bahwa birokrasi mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi
dan bentuk administrasi yang rasional karena birokrasi merupakan pelaksana
pengendalian melalui pengetahuan. Ia memberikan tipe ideal dari birokrasi dan
kegiatannya didistribusi dengan cara yang sudah pasti dan tetap (fixed), wewenang
pemberian perintah didistribusikan secara tetap pula, dan dibatasi oleh
aturan-aturan, hierarki dari wewenang
itu bersifat monokratis, pengelolaan didasarkan pada dokumen tertulis
dan bagi anggotanya birokrasi itu merupakan bidang pekerjaan atau mata
pencaharian. Dengan pengertian, birokrasi betul-betul menjadi sinonim dengan
rasionalitas dan objektivitas dalam administrasi organisasi besar.
Fenomena tersebut memiliki karakter
tertentu, yakni:
1. Adanya
spesialisasi tugas bagi anggota-anggota organisasi tersebut.
2. Adanya
suatu hierarki wewenang formal.
3. Adanya
sekumpulan aturan.
4. Adanya
suatu system pencatatan, dan
5. Adanya
personal dengan kecakapan dan peranan khusus.
2.
Akuntabilitas
Birokrasi
Dalam definisi tradisional,
akuntabilitas adalah istilah umum untuk menjelaskan betapa sejumlah organisasi
telah memperhatikan bahwa mereka sudah memenuhi misi yang mereka emban
(Benveniste, Guy, : 1991). Definisi lain menyebutkan akuntabilitas dapat
diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang
dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan
dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya.
Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama
dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan menyampaikannya secara
transparan kepada masyarakat (Arifiyadi, Teguh, : 2008)
Dalam bahasa Inggris biasa disebut
dengan accountability yang diartikan
sebagai yang dapat dipertanggunggjawabkan. Atau dalam kata sifat disebut
sebagai accountable. Lalu apa bedanya dengan responsibility yang juga diartikan
sebagai “tanggung jawab”. Pengertian accountability dan responsibility
seringkali diartikan sama dengan birokrasi, responsibility merupakan otoritas
yang diberikan atasan untuk melaksanakan suatu kebijakan. Sedangkan
accountability merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi
otoritas yang diperolehnya tersebut.
Pemahaman tentang akuntabilitas
birokrasi dapat kita pahami dengan memaknai pengertian akuntabilitas yang
adalah sebuah pertanggungjawaban, dengan artian birokrasi yang dimana sebagai
pemerintahan di balik meja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas
birokrasi merupakan apa yang seharusnya menjadi tuntunan-tuntunan dari kegiatan
birokrasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan banyak orang atau masyarakat dalam
pelayanan publik untuk pemenuhan administartif masyarakat. Akuntabilitas
birokrasi menekankan pada pengertian birokrasi yang sebenarnya, tanpa ada ada
campur tangan politisi di dalamnya, dimana kita ketahui bahwa birokrasi bekerja
di dalam sistem pemerintahan. Sehingga para pelaku birokrasi atau disebut dengan
birokrat akan senantiasa berhadapan dengan pemerintahan dan politisi, yang
kiranya dapat mempengaruhi kinerja para birokrat yang seharusnya melayani
masyarakat tanpa pandang bulu dalam aktivitas birokrasi. Jadi pemahaman
akuntabilitas birokrasi adalah pertanggung jawaban kinerja birokrat dalam
fungsinya yang sebenarnya dalam melakukan public service atau pelayanan publik
dalam rangka pemenuhan data administratif masyarakat dimana birokrasi lepas
dari kepentingan pribadinya dan hal-hal lainnya yang dapat menghalangi
kelancaran pelayanan publik.
3.
Netralitas
Birokrasi
Netralistas
birokrasi mencerminkan profesionalitas birokrasi. Karena birokrasi senantiasa
terlibat dalam kegiatan sistem politik, seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, maka akan ditemukannya penyelewengan-penyelewengan dalam kegiatan
birokrasi. Penyelewengan tersebut akan sangat berdampak buruk bagi kehidupan
bermasyarakat, maka perlu dilakukan pembenahan dalam kinerja birokrasi, supaya
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dapat dihilangkan. Proses bagaiamana
mengatasi penyelewengan tersebut dikenal dengan istilah netralitas birokrasi.
Upaya yang dapat dilakukan dalam menghilangkan penyelewengan para birokrat yang
merugikan masyarakat.
Faktor yang mempengaruhi netralitas
birokrasi menurut Wilson meliputi:
·
Kepentingan umum yang termasuk diantaranya
partai politik, elit politik, dan professional yang dapat mengintervensi
kebijakan dengan nuansa politis yang lebih banyak berubah.
·
Kepentingan masyarakat, kelompok dalam
masyarakat misalnya petani, mahasiswa, ibu rumah tangga yang dapat merupakan kontrol
dari formulasi kebijakan dan pelaksanaanya.
·
Birokrasi itu sendiri merupakan (dalam arti
kompetisi), ataupun profesionalisme birokrasi dalam menentukan/merumuskan
pilihan kebijakan publik yang representatif terhadap aspirasi kelompok
kepentingan umum dan kepentingan khusus, yang merupakan bargaining power.
Hasil
studi Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan (2003) mengidentifikas faktor-faktor
yang mempengaruhi netralitas birokrasi, yaitu:
·
Perturan perundangan yang tidak memberikan
batasan yang jelas antara domain politik dan administrasi.
·
Intervensi dari partai politik yang wakil-wakilnya
duduk di legislatif.
·
Intervensi dari kelompok-kelompok di masyarakat
(media cetak, pengusaha) yang memanfaatkan kelemahan masyarakat dan kebobrokan
pemerintah.
·
Masih terdapat kecenderungan (preferensi) untuk
mengutamakan kepentingan individual dari pejabat-pejabat negara maupun pegawai
negeri dalam pelaksanaan kebijakan.
·
Terdapat peraturan perundang-undangan pegawai
negeri yang kurang jelas dan tidak mempunyai sanksi yang tegas.
Selanjutnya,
Pusat Kajian Kelembagaan (2003) juga mengemukakan ketidaknetralan birokrasi
disebabkan hal-hal sebagai berikut:
·
Kekuasaan yang tidak seimbang antara legislatif
dan eksekutif.
·
Tidak jelasnya batasan-batasan kewenangan
seorang pejabat politis sehingga permasalahan teknispun selalu ikut campur.
Misalnya dalam penentuan proyek. Idealnya pejabat politis menentukan kebijakan
secara makro dan birokrat yang melaksanakannya.
·
Lemahnya sanksi hukum yang ada.
·
Lembaga peradilan dan lembaga pengawasan yang
ada belum dapat dijadikan tempat untuk menggugat tindakan-tindakan yang sesuai
dengan hukum yang berlaku, yang dilakukan legislatif terhadap eksekutif.
·
Lemahnya posisi masyarakat dalam memberikan
sanksi ataupun peringatan kepada eksekutif maupun legislatif, karena
suaranya sudah terwakilkan di legislatif.
·
Adanya keterpihakan terhadap kepentingan
birokrat salam pemberian pelayanan kepada masyarakat, sehingga terkesan
beberapa pelayanan harus menggunakan uang, sementara beberapa pelayanan
birokrasi bersifat mutlak dan tidak tergantikan, misalkan pembuatan surat
tanah, paspor, surat ijin mengemudi dan lain sebagainya.
·
Kebijakan yang dibuat tidak berdasarkan pada
aspirasi masyarakat, meskipun telah ada penjaringan simpati masyarakat dengan
membuka jalur komunkasi dengan masyarakat.
Selanjutnya dalam kajian
netralitas birokrasi (2003) strategi menumbuhkan netralitas birokrasi sebagai
berikut:
·
Adanya kesepakatan yang
kemunculannya harus didesak, tentang political will dari para pejabat politik
untuk membekali kader-kadernya yang duduk di lembaga Negara dengan komitmen dan
kompetisi yang tidak hanya menguntungkan partainya tetapi juga menguntungkan
masyarakat dan Negara.
·
Reformasi pembuatan peraturan
perundang-undangan di mana kebijakan yang bersifat politis harus tuntas
diselesaikan oleh legislatif, dan tidak diserahkan penjabarannya kepada
eksekutif.
·
Pembuatan peraturan
perundang-undangan legislatif bersama eksekutif, harus (a) didasarkan atas kajian
ilmiah (b) dibahas secara terbuka dan melibatkan unsur dari masyarakat (c)
pemberlakuan undang-undang harus diatas persetujuan kedua belah pihak
(eksekutif dan legislatif) dan didukung oleh masyarakat. Untuk memastikan bahwa
sebuah kebijakan tidak menguntungkan sekelompok orang dan memberikan dampak
luas terhadap masyarakat, maka dalam pembuatannya harus medahului dengan kajian
atau penelitian, hali ini berfungsi juga sebagai sosialisasi terhadap
masyarakat terhadap akan munculnya sebuah kebijakan yang diputuskan dengan
mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Pada saat ini penjaringan aspirasi sudah
sering dilakukan namun tindak lanjutnya tidak nampak, sehingga penjaringan
aspirasi tersebut dapat dikatakan merupakan formalitas saja.
·
Mengikutsertakan masyarakat
sebagai penentu terhadap diterima atau ditolaknya laporan pertanggungjawaban
kepala daerah dan penentu terhadap pengusulan pemberhentian kepala daeraj yang
dapat dilakukan melalui pooling ataupun semacam referendum.
·
Adanya peratuaran dalam hal
peneguran tehadap mereka yang mejadi kepala-kepala birokrasi atau mereka yang
memiliki jabatan yang tinggi.
·
Memberikan ketentuan bahwa seorang
pejabat politisi harus melepaskan kedudukannya di partai politik sebagi ketua
atau pengurus inti partai politik.
·
Mempertegas sanksi dalam setiap
peraturan perundangan yang dibuat.
·
Dengan meminjam pendapat Prof. Dr.
Miftah Thoha, MPA, bahwa harus ada batas yang jelas antara tugas dan kewajiban
pejabat politik dan pejabat karir. Memberikan ruang bagi pejabat politis untuk
menempatkan orang-orangnya (tentu dala jumlah terbatas) dijajarkan eksekutif
dengan diadakannya political appointes sehingga tidak terdapat lagi intervensi
terhadap lingkungan pejabat karir.
·
Pembina pegawai negeri harus
berasl dari pegawai negeri sendiri, termasuk dalam pertanggungjawaban dan
pengangkatannya.
·
Pada lembaga peradilan atau
pengawasan ynag sudah ada, ditambahkan satu fungsi, yaitu fungsi untuk
mengadili atau menggugat tindakan yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku
yang dilakukan eksekutif terhadap legislatif.
·
Pembatasan kekuasaan seorang pejabat
politis dan pejabat karir, di mana pejabat politik membuat kebijakan umum dan
pejabat karir yang mengoperasionalkan, dan pembatasan bahwa seorang pejabat
politis hanya dapat berhubunhan secara hierarkis dengan satu orang pejabat
karir.
·
Pemberian sanksi terhadap
penyimpangan terhadap ketentuan baik oleh pejabat karir maupun pejabat politis.
·
Reformasi manajemen kepegawaian
dengan menegakkan reward and punishment dengan penekanan kepada reward terhadap
pegawai yang melakukan hal yang baik, dan mengeliminir adanya reward negative
karena yang terjadi adalah dengan mempersulit pelayanan justru akan mendapatkan
reward (dari suap pengguna layanan misalnya).
·
Di masa yang akan datang dalam
rekuitmen pegawai salah satu syarat untuk menjadi seorang pegawai negeri sipil
harus memiliki jiwa sosial yang tinggi.
·
Pengubahan budaya organisasi
dengan perubahan sikap secara menyeluruh di birokrasi tentunya didahului oleh
pemimpin puncak.
Di atas mungkin beberapa upaya dalam menertralitaskan
birokrasi yang dalam pelaksanaannya tidak benar atau menyeleweng dari yang
seharusnya. Memang para pelaku birokrasi/birokrat yang tidak memperhatikan
akuntabilitasnya dalam pelaksanaan kerja mereka, sangat meresahakan bagi
masyrakat yang membutuhkan pelayanan dari mereka. Karena birokrasi berhubungan
langsung dari masyarakat dan dibutuhkan sikap profesional bagi birokrat, maka
sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang meyeleweng tersebut harus dinetralkan agar pelaksanaan birokrasi
berjalan semestinya dan masyarakatpun dapat memperlancar kegiatan mereka dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Badan administrasi
atau birokrasi diperlukan sekali untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat,
dengan pelayanan-pelayanan tersebut segala kepentingan masyarakt dapat
berlangsunng secara tertib dan teratur. Tanpa adanya badan administrasi
peraturan perundangan tidak dapat dilaksanakan, sehingga akibat-akibatnya dapat
dibayangkan, bagaiman semrautnya tata kehidupan dalam masyrakat,
ketidaktertiban, ketidakteraturan dan ketidakamanan akan selalu timbul
sehubungan setiap warga masyarakat mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan
dalam keadaan demikian tidak ada ketentuan atau peraturan perundangan yang
membatasi kepentingan-kepentingannya itu.
Namun,
tenyata dalam kehidupan kita saat ini, birokrasi memang ada dan berjalan semana
biasanya, hanya saja bagaimana para birokrat membawakan fungsi birokrasi yang
menyimpang dari fungsi yang sebenarnya. Birokrat memanfaatkan posisinya dan
dominasinya untuk kepentingan pribadinya. Ini yang perlu dipahami oleh
masyarakat, bahwa birokrasi adalah wadah kita dalam mengurus administrasi kita
misalnya data kependudukan kita KTP, Surat Ijin Mendirikan Bangunan (SIMB),
Surat Ijin Mengemudi (SIM), dan lain sebgainya, dimana kita membutuhkannya
dalam proses kehidupan kita sehari-hari, kita dapat mengakses surat-surat
tersebut dengan lancar dan baik. Tanpa proses yang bertele-tele dan
mengeluarakan biaya yang sangat besar dan memakan waktu yag cukup lama. Maka
masyarakat yang sebagai objek harus memahami tugas dan fungsi birokrasi dalam
masyarakat supaya terhindar dari penyimpangan yang dilakukan oleh birokrat dan
tak lepas pengawasan dari pemerintahan guna meminimalisirkan penyelewengan
tersebut.
Saat ini
birokrasi kita terlalu dekat dengan politik sehingga seringkali mengabaikan
prose pertanggung jawab (Acountability) kepada masyarakat. Dalam system
pemerintah yang dapat dipahami penulis adalah bahwa pertanggung jawaban lembaga
eksekutif akan dilakukan di depan lembaga legislaltif yang notabene adalah
perwakilan masyarakat sehingga ini
menjadi sebuah pertanggung jawaban politik karena di lembaga ini kepentingan
politik-lah yang terdepan, terkadang para anggotan legislatif juga salah
mendefinisikan kehadiran pada lembaga ini karena dia adalah perwakilan rakyat
bukan perwailan partai politik sehingga kepentingan yang harus diniatkan adalah
kepentingan rakyat tetapi permasalahan ini saling bertabrakan jika partai
memiliki kepentingan yang dititipkan pada perwakilannya sehingga anggotanya di
legislative menjadi delematis untuk memutuskan kepentingan mana yang didahului.
DAFTAR
PUSTAKA
Sastroatmojo, Sudijono, 1995. Prilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press, 1995.
Kartasasaportra,
G. 1989. Debirokratisasi dan Deregulasi.
Jakarta: BINA AKSARA Jakarta.
Pusat Kajian
Kelembagaan. 2003. Netralitas Birokrasi, Jakarta.
http://lutfiwahyudi.wordpress.com/2007/03/16/netralitas-birokrasi/,Lutfi_Wahyudi, NETRALITAS BIROKRASI.
Created by Baz
thank's informasinya, mantap.
BalasHapuswww.kiostiket.com