Menganalisa Konflik pada Fenomena Orde Baru dengan Teori Marxist dan Teori
Post-Marxist
(Studi Kasus: Gerakan yang muncul menjatuhkan Rezim otoriter Soeharto
terhadap pelanggaran HAM pada masa Orde Baru)
Departemen Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Medan 2013
Medan 2013
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN................................................................................................................ 1
LATAR
BELAKANG............................................................................................................................
1
RUMUSAN
MASALAH......................................................................................................................
2
BAB II :PEMBAHASAN...................................................................................................................
3
TEORI MARXIST.................................................................................................................................
3
TEORI
POST-MARXIST........................................................................................................................6
FENOMENA DI MASA
ORDE BARU................................................................................................
7
ANALISA TEORI
TERHADAP FENOMENA ORDE BARU..........................................................10
BAB III : PENUTUP............................................................................................................................13
KESIMPULAN....................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................14
BAB I
Pendahuluan
1. Latar belakang
Tepatnya
pada tahun 1998, Indonesia mengalami sebuah pergolakan yang besar, dimana
jatuhnya sebuah rezim otoriter yang berkuasa pada saat itu (1966-1998). Rezim
otoriter tersebut berada dibawah pemerintahan Soeharto sebagai presiden RI.
Kekuasaan Presiden Soeharto semasa Orde Baru terasa sangat absolut.
Pemerintahan
Orde Baru yang menekan dan membelenggu masyarakat menimbulkan kejenuhan dalam
benak. Kejenuhan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru telah memunculkan
berbagai gerkan-gerakan sosial
masyarakat terutama di kalangan mahasiswa. Gerakan-gerakan tersebut
terus mendesak pemerintahan otoritarian Soeharto dan akhirnya berujung pada
kejatuhan rezim Orba. Dapat kita lihat bahwa Orde Baru memiliki tekad dan janji
yakni ingin melaksanakan kedaulatan rakyat dimana dilaksanakan antara lain
melalui pengawasan oleh pengawasan oleh
rakyat di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), kehidupan partai dijamin karenan
rakyat berhak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran. Partai Politik
adalah untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat dan pendidikan rakyat dalam
melaksanakan demokrasi dan hak-hak politik, Partai Politik perlu mendapat
dukungan yang luas dan riil dari rakyat, pemilihan umum sebagai barometer
kemampuan bangsa dalam menyalurkan aspirasi dan pelaksanaan demokrasi. Namun
janji Orde Baru itu tidak dilaksanakan, bahkan dilanggar sendiri oleh
penyelenggara kekuasaan negara.[1]
Tentunya
dalam kejadian gerakan-gerakan sosial yang muncul di dalam masyarakat
menjelaskan bahwa terjadinya sebuah konflik antar penguasa dengan yang
tertindas, yang notabenenya adalah masyarakat Indonesia dimana mengalami
tekanan oleh kekuasaan absolut Soeharto. Jelas seperti yang dikatakan oleh
Marxist bahwa manusia akan melakukan perlawanan jika berada di dalam tekanan
terus menerus. Menyebabkan pergolakan terjadi didalam masyarakat yang ingin
melawan kekuasaan absolut Soeharto. Menurut penulis, munculnya gerakan baru
seperti gerakan mahasiswa membuktikan apa yang dikatakan oleh teori Post-Marxist
bahwa akan munculnya gerakan-gerakan sosial baru, kontradiksi antar kelas
(borjuis dan proletariat) seperti yang dikatakan Marxist bahwa konflik hanya
terjadi antar dua kedua kelas tersebut yang bertentangan.
Memilih
Orde Baru bagi penulis sangat menarik untuk melihat konflik yang terjadi antara
pemerintahan dengan masyarakatn dengan analisa teori Marxist dan teori
Post-Marxist. Disatu sisi, pertentangan antara dua kelas Kapitalis dan Buruh
menurut Marxist, juga penulis pahami dengan melihat Negara atau pemerintahan
dibawah kekuasaan Soeharto yang otoriter sama halnya seperti Kapitalis dan
masyarakat yang tertindas oleh kekusaan otoriter Soeharto sebagai kelas buruh.
Sebaliknya, di masyarakat yang bisa kita anggap sebagai kelas buruh yang
tertindas, muncul berbagai gerakan-gerakan sosial baru, yang mana ini juga
menyinggung teori Post-Marxist bahwa kontradiksi kelas tidak lagi merupakan
satu-satunya konflik.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena
yang terjadi pada masa orde baru, penulis memberikan pembatasan masalah hanya
pada fenomena pelenggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru, sehingga yang
menjadi rumusan masalah yang diangakat dalam makalah ini adalah “apa yang
menyebabkan gerakan di masyarakat untuk menjatuhkan Rezim Orde Baru di bawah kekuasaan
Presiden Soeharto?”.
BAB II
Pembahasan
1. Teori Marxist
Dipengaruhi oleh pecerahan,
ketika Marx dilahirkan ketika masa Revolusi Industri di mana terjadi penindasan
oleh kapitalis. Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya
mengenai sifat mendasar manusia, ia yakin bahwa pada dasarnya manusia adalah
makhluk produktif, artinya untuk bertahan hidup manusia perlu didalam dan
dengan alam. Ia ingin mengembangkan sebuah teori yang dapat menjelaskan
penindasan tersebut dan yang dapat membantu merobohkan sistem kapitalis itu.
Perhatiannya tertuju kepada revolusi, yang bertolak belakang dengan perhatian
sosiolog konsevatif yang menginginkan reformasi dan perubahan secara tertib.[2]
Pemikiran Marx berpusat pada
struktur kapitalisme dan dampak penindasannya terhadap buruh secara politis
perhatiannya tertuju pada upaya untuk membebaskan manusia dari penindasan
srtuktur kapitalisme.
Kapitalis merupakan adalah
sebuah struktur yang memisahkan seseorang individu dan proses produksi, produk
yang diproses dan orang lain; dan akhirnya juga memisahkan diri individu itu
sendiri (konsep alienasi). Alienasi terjadi karena kapitalis telah berkembang
menjadi sistem dua kelas di mana sejumlah kecil kapitalis menguasai proses
produksi, produk dan jam kerja dari orang yang bekerja untuk mereka. Analisis
kelas yang dikatakan oleh Marx terdapat di dalam buku yang ia tulis yang
berjudul Communist Manisfesto yang terdapat ungkapan dari Marx dan Engels bahwa
“sejarah dari semua bentuk masyarakat yang eksis sampai sekarang adalah sejarah
tentang perjuangan kelas”.
Orang
bebas dan budak, orang terpandang dan rakyat jelata, tuan tanah dan hamba
sahaya, penguasa guilda dan pengangguran – dengan kata lain, penindas dan yang
tertindas, berdiri dalam oposisi konstan satu sama lain membawa dalam dirinya
semangat perlawanan, kadang tersembunyi kadang terbuka, dan setiap kali
berakhir entah dalam bentuk penginstitusian-ulang revolusioner masyarakat luas,
atau hancurnya kelas-kelas yang melawan (Marx dan Engels: 1976, hal. 482).
Berdasarkan
pandangan tersebut, analisis kelas merupakan sebuah perjuangan kelas dimana ini
adalah analisis yang bertitik tolak dari keyakinan bahwa perlawan kelas telah
melandasi fakta yang genting kehidupan sosial sejak dulu hingga sekarang. Utamanya
ia menyoroti basis dan mekanisme perlawanan, karakter para pahlawannya
(protagonis), bentuk-bentuk perlawanannya, penyebab-penyebab bagi
perbedaan-perbadaan bentuk perlawanan ini dari periode ke periode di dalam
tubuh masyarakat mana pun dan di antara sesama masyarakat itu sendiri,
konstruksi-konstruksi ideologis yang di bawahnya pelawanan dilakukan, dan
pertanyaan-pertanyaan lain sejenis yang fungsinya adalah memberi kita
pencerahan terhadap ragam segi kehidupan sosial dan proses-prosesnya.
Protagonis
dalam perjuangan kelas adalah pemilik alat-alat produksi di satu sisi dan
produsen di sisi lain, dan para protagonis ini terperangkap dalam sebuah konflik yang inheren, sudah ditentukan
secara struktural, dan implisit dalam eksistensi mereka di sepanjang rantai
proses produksi. Para pemilik tak mau didorong untuk mengupayakan pemanfaatan
sejumlah besar tenaga kerja, dan yang paling mungkin dilakukannya adalah dengan
mengumpulkan para produsen bebas, sedangkan para produsen dengan cara yang sama
juga didorong untuk memperjuangkan
pemanfaatan jumlah tenaga kerja yang boleh mereka berikan, dan sebisa
mungkin berproduksi sendiri dalam kondisi yang memungkinkan. Begitu pentingnya
titik berat Marx kepada relasi pemilik dan produsen bagi keseluruhan
pengorganisasian dan kehidupan masyarakat ini, disuarakannya dengan gamlang di
dalam kalimat lain yang terkenal dengan Das Kapital.
Di setiap kasus selalu terdapat hubungan langsung antara pemilik
kondisi-kondisi produksi dengan para produsen di dekatnya ... di dalamnyalah
kita menemukan rahasia terdalam, basis tersembunyi, bagi seluruh bangunan
sosial, dan kemudian, bentuk politisi hubungan kekuasaan dan ketergantungan.
(Marx: 1981, hal. 927 – dikutip melalui buku: George Ritzer – Douglas J.
Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi
Keenam, Prenada Media Group, Jakarta: Kencana 2008).
Pada esensinya, hubungan pemilik dengan produsen
adalah satu dari sekian eksploitasi yang ada, sebuah istilah yang memiliki
konotasi normatif sangat kuat. Namun, istilah ini juga bisa dipakai dalam
pengertian teknis untuk menunjukkan
bahaya dari surplus tenaga kerja dan pengalokasian surplis produk
apabila produsen tidak dikendalikan dalam sebuah proses produksi di mana
produsen sendiri juga tidak memiliki kemampuan mengendalikan. Eksploitasi jelas
tidak asing bagi kapitalisme, seperti yang dicatat Marx, sifat-sifat yang
berkaitan dengan proses ekploitasi disebut dominasi (Marx juga mencatat yang membedakan pembentukan ekonomi
masyarakat) – contohnya pemilhan antara masyarakat yang berbasis tenaga kerja
budak dan masyarakat yang berbasis
tenaga kerja upah – adalah sistem yang di dalamnya surplus tenaga kerja
dilepaskan dari produsen langsungnya, para pekerja (Marx: 1976, hal. 325).
Modal tidak pernah menciptakan surplus tenaga kerja. Kapan pun salah satu
bagian masyarakat memiliki kemampuan monopoli alat-alat produksi , maka
pekerja, entah yang bebas atau tidak, harus menambahkan waktu-kerja yang
sebenarnya diperlukan demi pemeliharaan dirinya sebagai waktu-kerja yang
dipakai untuk mendukung kelangsungan hidup pemilik alat-alat produksi. (Marx:
1976, hal. 344 dikutip dari buku: George Ritzer
– Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi
Modern, Edisi Keenam, Prenada Media Group, Jakarta: Kencana 2008)
Sebagai
sebuah teori, Marxisme menelaah pertentangan
yang terjadi antar berbagai pemikiran mengenai tindakan yang harus
dilakukan agar sebuah masyarakat dapat tertata dengan baik. Maka pertarungan
antar kelas antar kapitalis dan buruh
harus dipahami dengan baik, dimana dua pandangan yang bertolak belakang
tentang aspirasi mana yang harus dianggap universal. Apakah kapitalis
benar-benar mengeksprsikan aspirasi manusia yang mendasar yaitu untuk mencari
keuntungan bagi diri sendiri dan mengejar kekayaan? Apakah dalam artian
kapitalisme dapat dikatakan selaras dengan semua keinginan anggota masyarakat
dan juga sekaligus selaras denga kepentingan kapitalis dalam artian kepentingan
pribadi? Atau sebaliknnya, yaitu bahwa situasi material dari para pekerja membuat
para pekerja ini memiliki etika komunal dan egalitariann yang lebih selaras
dengan kepentingan universal dari umat manusia?
Salah
satu cara yang digunakan Marx untuk menjawab persoalan tersebut adalah dengan
menggunakan argumen polarisasi. Kalau argumen ini benar, maka kapitalis akan
cenderung untuk membuat orang makin banyak dalam masyarakat sipil memiliki
kondisi kehidupan yang sama, yaitu kondisi di mana orang-orang itu tidak
mempunyai apaun untuk dijual kecuali tenaga mereka sendiri.[3]
2. Teori
Post-Marxist
Munculnya teori ini disebabkan oleh penolakan
terhadap berbagai premis dasar dari teori asli Marx maupun premis dasar teori Neo-Marxian.
Sehingga pendekatan baru ini harus dianggap sebagai teori Post-Marxis (Wright,
1987; Dandaneau, 1992). Walau teori ini menolak unsur-unsur dasar teori
Marxian, namun masih mempunyai afinitas yang cukup dengan teori Marxian karena
dianggap menjadi bagian teori Marxian. Teori Post-Marxian sering menggunakan sintesis teori-teori Marxian
dengan teori, gagasan, dan metode lain. Ada dua kumpulan faktor yang terlibat:
Pertama, faktor eksternal teori itu dan yang menyebabkan perubahan dalam
kehidupan sosial. Kedua, faktor internal teori itu sendiri (Anderson, 1984;
Ritzer, 1991).
Post-Marxis
merupakan penafsiran ulang pemikiran Marx menurut persyaratan intelektual yang
lebih konvensional, suatu upaya untuk menerapkan teori pilihan rasional
terhadap masalah-masalah Marxian dan upaya meneliti topik-topik Marxian dengan
menggunakan metode dan teknik ilmu pengertahuan positivisme. Seperti yang
dikatakan Meyer bahwa “meningkatkan kerendahan hati terhadap kaidah ilmu
pengetahuan konvensional sama artinya dengan mengurangi kataatan terhadap teori
Marxis itu sendiri” (1994).[4]
Pada
dasarnya penulis mengalami kebingungan dengan pemahaman mengenai defenisi teori
Post-Marxist, namun berdasarkan bahan bacaan bersumber dari Post-Marxist Tanpa Apologi: Reformulasi
Ernesto Laclau dan Chantal Mouffle terhadap Teori Marxist tulisan Bapak Taufan
Damanik. Yang menjelaskan bahwa ada tiga hal mendasar yang disamapaikan
oleh Lactau dan Mouffle, dimana mereka begerak melibihi apa yang telah Marx
konsepkan yakni hal tersebut adalah sebuah teori atau dikatakan sebagai
linguistik dan non-lingusitik (realita) dalam pemikiran analitik, boleh disertakan
dalam maksud membandingkannya. Yakni fakta keduanya bahwa keduanya adalah
bagian dari operasi keseluruhan. Hak tersebut dipahami sebagai diskursus yang
merupakan totalitas yang mengikutsertakan linguistik itu sendiri dan
tindakan-tindakan non-linguistik oada sebuah sistem hubungan; kemudian Laclau
dan Mouffle mengkritisi ekonomi determinisme ekonomi Marxisme sebagai konsep
yang tidak lengkap dan percaya bahwa gerakan anti kapitalis tidak hanya sebuah
hasil dari pertentangan diantara hubungan buruh-modal. Terdapat berbagai alternatif yang luas menyangkut
pertentangan itu; mereka berpendapat bahwa pertentang itu terbentuk diantara
hubungan produksi dan suatu di luar itu. Pola dan intensitas pertentangan
tergantung, karena itu, kepada suatu yang lebih luas, dimana aktor sosial
dibentuk di luar hubungan-hubungan produksi. Jadi, kemungkinan memperdalam
perjuangan anti kapitalis itu sendiri bergantung kepada hal-hal di luar
revolusi demokratik.[5]
3. Fenomena di Masa Orde Baru
Dari
tahun 1966 hingga 1998 Indonesia mengalami kekuasaan yang absolut ataupun
otoriter, di mana bangsa Indonesia merasakan kekuatan pemerintahan yang sangat
kuat dalam pelaksanaanya, kuat di sini diartikan bahwa legitimasi yang dimiliki
pemerintahan pada masa itu benar-benar berjalan tanpa ada hubungan timbal balik
antara pemerintah dengan masyarakat yang baik, sehingga kekuasaan tersebut
cenderung disalah gunakan. Masa tersebut kita kenal dengan nama Rezim Orde Baru,
yang berada di bawah pimpinan Presiden Soeharto.
Oleh
karen itu, terdapat beberapa fakta pelanggaran HAM Orde Baru. Pelanggaran HAM
Orde Baru dikategorikan sebagai crime
against humanity yang korbannya adalah masyarakat atau kelompok masyarakat.[6]
Peristiwa
G.30.S/1965, tanggal 1 Desember 1975 pemerintah Soeharto mengumumkan pelepasan
1.300 tahanan politik yang terkait dengan PKI. Pemerintah Soeharto mengakui ada
35 ribu orang yang di tuduh terlibat usaha kudeta September 1965. Mereka
dipenjara sebagai tahanan politik dengan tidak mengenal batas waktu dan tanpa
proses pengadilan. Setahun setelahnya
itu ada 2.800 orang lainnya di
lepas. Kemudian 11.800 orang di lepas pada tahun 1977, dan 16.500 orang pada
tahun 1978, dan tahun 1979 adalah tahun terakhir pelepasan besar-besaran.
Setelah peristiwa 30 September 1965, dibentuklah Kompkamtib (Komando Operasi
Pemulihan keamanan dan Ketertiban) dengan tugas membatas komunis. Masyarakat
yang terlibat secara langsung dengan PKI
dan organisasi mantelnya, harus ditangkap atau bila perlu membunuh mereka.
Diperkirakan tidak kurang dari satu juta masyarakat sipil yang disangka
pengikut komunis mati dibunuh, baik melalui operasi militer, atau kelompok
masyarakat non-komunis yang terprovokasi oleh operasi militer. Mereka yang
ditangkap adalah penduduk biasa, pegawai negeri dan anggota tentara dari segala tingkatan dan bagian.
Klasifikasi yang sangat lentur tanpa
petunjuk pelaksanaan sehingga para
komandan tentara lokal mempunyai kekuasaan yang tak terbatas didaerahnya
masing-masing. Mereka mutlak mempunyai kekuasaan untuk menangkap, menyita,
merampas, memenjarakan, bahkan membunuh siapa saja yang dicurigai.
Perang timor-timur,
pasukan-pasukan Indonesia menyerang garnisum di Timor-Timur. Invasi TNI
besar-besaran di Dili dimulai pada tanggal 1975, sebagai pembalasan terhadap
perlawanan kelompok (milisi). UDT yang menyebabkan invansi Indonesia itu.
Banyak orang Timor lari ke gunung-gunung sebagai akibat kebrutalan Indonesia
dalam invasi dan mereka menetap disana. Dibutuhkan empat tahun oleh
tentara Indonesia dengan operasi militer
besar untuk menguasai “orang-orang gunung” itu. Di dalam empat tahun banyak
sekali terjadi kematian, terutama disebabkan oleh kelaparan dan penyakit. Angka
kematian 200 ribu orang Timor-Timur (sekitar sepertiga penduduk). Juga semenjak
Desember 1979, Indonesia menggunakan bom napalm hingga hampir semua yang ada di
gunung-gunung menyerah.
Gerakan Aceh Merdeka,
Teuku Hasan Tiro sebetulnya sudah mengklaim keberadaan Republik Islam Aceh pada
sekitar pertengahan 1950-an, yaitu
semasa Hasan Tiro masih menjadi mahasiswa
di Amerika Serikat. Semenjak itu pertentangan antara pemerintah Jakarta dan
kelompok-kelompok pengikut Hasan Tiro di Aceh terus berlangsung. Pemerintah di
bawah pemerintahan rezim Soeharto tidak menginginka gerakan yang mengarah
kepada separatisme. Oleh karena itu, sejak 1989 dinyatakanlah berlakunya Daerah
Operasi Militer (DOM) disana. Dimulailah aksi penumpasan terhadap Gerakan Aceh
Medeka (GAM). Operasi militer membabi buta
dan dilakukan tanpa henti dengan menangkapi orang-orang disertai dengan pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan,
dan penculikan. Selam 8-9 tahun masa DOM rakyat Aceh hidup dalam ketakutan,
siapa saja yang dicurigai anggota GAM akan segera ditangkap dan tidak akan
pernah pulang.
Organisasi Papua
Merdeka, Yakob Rumbiak merupakan yang yakin bahwa Irian Barat bukanlah bagian
dari Indonesia. Oleh karena itu, ia tuntut tidak dengan kekerasan, tetapi hanya
memimpin perayaan ulang tahun kemerdekaan Papua, dan oleh karena itu pula, ia
harus menebusnya dengan kebebasannya. Menurut Yakob, Soeharto menjalankan
sistem kapitalisme di Irian. Wilayah yang kaya raya itu hanya untuk kepentingan segelintir orang pemerintah saja.
Sedangkan yang miskin semakin menderita, PT. Freeport Indonesia itu
memanfaatkan sumber daya Irian. Seharusnya hasilnya bisa untuk kemakmuran
rakyat, ternyata tidak. Bahkan Freeport menjadi sumber pemicu pelanggaran HAM,
karena yang dilakukan Freeport adalah membayar pemerintah dan militer Indonesia
untuk merampas tanah rakyat. Kalau rakyat tidak mau, mereka diintimidasi,
diusir dari tanahnya dan banyak yang kemudian dibunuh pula.
Jakarta Menumpas
Islam, terjadi kesenjangan aparat yang dinilai menghina kesucian sebuah masjid
di Tanjung Priok untuk memicu tindakan kekerasan militer terhadap sejumlah
orang ditangkap dan di adili, seperti Abdul Qadir Djaelami dan KH. Mawardi
Noor. Buntut peristiwa Priok berlanjut dengan penangkapan terhadap Letjen (Purn.) Hr. Dharsono, HM,
Sanochi, AM. Fatwa dan Tasrif Tuas Mal, karena menerbitkan Lemabaran Putih
Peristiwa Priok, dan tindakan perencanaan pemboman terhadap kantor cabang Bank
Central Asia di Jakarta. Mereka di jatuhi hukuman penjara antara 5-17 tahun
penjara. Di Lampung juga terjadi, yakni ketika penangkapan orang-orang seperti
Fauzi Iman, Darsono, Nur Hidayat, dan
Wahidin di tuduh telah bersekongkol untuk mendirikan negara Islam Indonesia.
Padahal yang dilakukan mereka adalah niatan untuk mendirikan Islamic Village dengan mencoba untuk
hidup dari hasil pertanian yang mereka oleh di sebidang lahan di Desa
Talangsari di Lampung. Mereka ditangkap dan di bawa ke penjara setelah disiksa
di markas TNI. Fauzi Isman di vonis 20 tahun penjara bersama belasan lainnya
juga dipenjara ada 8 orang bahkan ada orang yang dihukum seumur hidup, beberapa
diantaranya di Pulau Nusa Kambangan.
Menghilangnya Orang,
23 Mei 1998 (dua hari setelah Soeharto mudur) ditemukan jenaza Gilang seorang
pengamen jalanan yang berusia 24 tahun. Di dada Gilang terdapat sebuah luka
yang kemungkinann besar berasal dari sebuah tembakan senjata api. Selain Gilang
ada 12 aktivis yang hilang tidak ketahuan dimana keberadaanya. Sangat mungkin
diculik sebagaimana terjadi pada beberapa aktivis pro demokrasi yang sempat
kembali dari tempat penculikannya. Nezar Patria, salah seorang dari mereka yang diculik. Neza tidak sendiri, pada saat
itu juga ia beserta Aan di bawa masuk mobil, dan kedua mata masing-masing di
tutup dengan kain hitam, tangan mereka
juga diborgol. Mereka di bawa masuk ke dalam ruangan, ternyata di dalam ruangan
telah banyak orang, termasuk aktivis lainnya yang di culik juga. Nezar
diinterogasi, karena tidak mengaku, Nezar mendapat pukulan keras di rahangnya
beberapa kali, lalu di tendang di bagian
dadanya, hingga tak berdaya lagi. Dalam keadaan setenga sadar Nezar
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para penculik. Namun penyiksaan
terus berlanjut, dengan kejutan listrik, siksaan seperti tendangan dan
pemukulan bahkan ia pernah di sumpal dengan tumit sepatu hingga bibirnya pecah.
Pada tanggal 15 Maret 1998, Nezar diberitahukan bahwa dia bukan target
penculiknya itu. Nezar dan dua orang korban lainnya di bawa ke Polda Metro Jaya
untuk diserhakan dan diperiksa secara
resmi polisi dengan tindakan melakukan tindakan subversi.
4. Analisisa teori
Orde Baru bisa
dikatakan sebuah gambaran bagaimana hidupnya dua kelas yakni yang berkuasa
dengan yang tertindas. Bagaimana penulis bisa menyatakan hak demikian?.
Dikarenakan Rezim Orde Baru mengimplemantasikan bagaimana seseorang/kelompok
orang menggunakan kekuasaan yang legal melalui pemilu 1955, dimana Soeharto
terpilih sebagai presiden kedua Indonesia setelah Soekarno dengan kekuasaan
yang absolut yang dijalankan oleh Soeharto. dimana diatas telah diungkap
bagaimana Soeharto dapat dipandang sebagai kelas kapitalis dimana dia juga
sebagai aktor negara/pemerintahan memananfaatkan kekuasaan sebagai Presiden
Indonesia untuk menjalankan kekuasaannya dengan semena-mena, dan bahkan dia mengumpulkan kekuasaan itu dengan membuat
masyarakat tertindas oleh kepentingan-kepentingan yang ia kejar.
Berdasarkan teori
Marxist, penulis berusaha untuk menghubungkan fenomena yang terjadi pada Rezim
Orde Baru dengan teori yang dikemukakan oleh Marxist. Marrx mengatakan bahwa
negara memiliki hubungan dengan kapitalis dalam mengakumulasi modal, didalam
fenomena orde baru, modal itu adalah kepentingan (kekuasaan). Namun, didalam
orde baru negara itu sendiri dipakai oleh Soeharto sebagai menjadikannya kelas
kapitalis, atau sebaliknya kapitalis itu negara. Dimana legitimasi negara
digunakan Soeharto untuk memperkuat kekuatan politik dan ekonominya, tentu itu
untuk kepentingannya sendiri. Ia melakukannya dengan membuat
kebijakan-kebijakan, terutama dalam hal perjanjian luar negeri. Soeharto
berusaha meyakinkan kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa ia akan menjalankan
pembangunan infrastruktur, politik dan perekonomian Indonesia dengan bekerja
sama dengan negara asing dan perusahaan-perusahaan internasional guna menerima
bantuan/pinjaman modal dari negara asing. Namun pada kenyataannya, bukannya
memanfaatkan modal bantuan itu untuk kepentingan rakyat, malah Soeharto
memperkaya dirinya dengan mengkorupsi semua modal pinjaman yang diperolah dari
asing. Tentunya, karena tindakan Soeharto tersebut, secara tidak langsung
Soekarno melakukan eksploitasi terhadap hak-hak rakyat untuk hidup sejahtera.
Seperti halnya yang dikatakan oleh Marx, bahwa kaum kapitalis akan terus
mengeksploitasi sumber kekayaan, dimana kaum kapitalis terus mengeksploitasi
tenaga buruh tanpa memperhatikan kesejahteraan buruh, dan Marx melihat
masyarakat dibentuk pertama kali dari dua kelompok dengan pertentangan
kepentingan ekonomi: kelompok borjuis dan proletariat. Kelompok borjuis adalah
kelas penguasa/pemegang peraturan – mereka adalah orang-orang kaya/makmur yang
mengontrol sarana/alat-alat produksi-ekonomi, memiliki pengaruh besar pada
lembaga-lembaga ekonomi dan politik masyarakat, serta memiliki jatah kekuasaan
untuk melayani kepentingan mereka. Disisi lain, proletariat diatur, mereka
bekerja secara tereksploitasi oleh kaum borjuis[7]
Tentunya karena terus
menerus mengalami tekanan oleh pemerintahan Soeharto, denga tidak memperhatikan
kepentinga rakyat Indonesia, bahkan Soeharto melakukan pelanggaran-pelanggaran
HAM. Dimana banyak masyarakat sipil disiksa dan dibunuh. Tindakan keras yang
dilakukan oleh Soeharto adalah karena ketakutannya terhadap gerakan-gerakan
separatisme. Ketika terjadi peristiwa G.30.S/1965, Soeharto membentuk Komkamtib
(Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) guna memberantas komunisme.
Ia memerintahkan untuk mengungkapkan siapa saja yang terkait secara langsung
atau tidak langsung denga PKI, bila perlu membunuh mereka. Klasifikasi yang
lentur dan tanpa disertai pentunjuk pelaksanaan yang tak menangkap, bahkan
membunuh siapa saja yang dicurigai.
Kondisi pelanggaran
HAM tersebut tentu menyebabkan bangsa Indonesia bangkit untuk melawan Rezim
Soeharto. dengan melakukan demonstrasi besar-besaran, dimana pada saat itu
mahasiswa yang berusaha untuk membangun opini publik agar bangsa Indonesia
bangkit melawan dan menuntut Soekarno turun.
Bangkitnya bangsa
Indonesia untuk melawan Rezim Orde Baru juga dijelaskan oleh teori Marx bahwa,
orang yang berada dibawah tekanan terus menerus akan melakukan perlawanan untuk
memperoleh hak-hak mereka.
Secara keseluruhan
bahwa penulis melihat terjadinya tekanan dari penguasa terhadap masyarakat.
Penguasa menggunakan kekuasaanya untuk memperkuat kekuasaanya bahkan dengan
melanggar HAM, menyebabkan masyarakat bangkit untuk melawan. Sama hal seperti
yang dikatakan oleh Marx bahwa ada dua kelas yang bertentang, yakni kapitalis
dengan buruh. Dimana kapitalis mengeksploitasi buruh dengan keterampilan mereka
menghasilkan produk-produk kapitalis dengan harga tinggi, namun kapitalis tidak
menjamin kesejahteraan buruh. Dan kapitalis cenderung untuk mengakumulasi
kekayaan mereka.
Berdasarkan pandangan
Post-Marxist, diman penulis mengambil penjelasan teori Post-Marxist yang
dikemukakan oleh Lactau dan Mouffle bahwa terjadinya kontradiksi sosial baru,
pertentangan bukan lagi perjuangan kelas. Karena akan muncul gerakan-gerakan
sosial baru.
Konlflik yang terjadi
di pemerintahan orde baru merupakan pertentangan antara pemerintah yang
berkuasa denga masyarakat. Bila ditinjau dengan teori Post-Marxist, didalam
konflik tersebut muncul gerakan mahasiswa seperti yang dikatakan oleh Laclau
dan Mouffle bahwa akan muncul gerakan sosial baru. Penulis menekankan pada
gerakan mahasiswa sebagai gerakan sosial baru yang muncul akibat dari
pemerintahan Soeharto, dimana menghalangi kepentingan mahasiswa pada saat itu,
untuk bebas berbicara didepan umum berkenaan dengan politik. Juga terjadi
ketidakbebasan terhadap Rezim Orde Baru dan hak-hak tidak diterima oleh rakyat.
Maka mahasiswa membangun sebuah kesadara antara sesama mahasiswa dimana mereka
memiliki rasa yang sama, juga membangun kesadaran terhadap masyarakat diamana
kesejahteraan mereka tidak diberikan oleh rezim Soeharto, argumen mahasiwa
dengan masyarakat berbeda, namun itu bisa dibangun karena dihalangi oleh satu
musuh yakni Rezim Orde Baru.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan
ini, penulis ingin melihat fenomena di masa Orde Baru dengan teori
Post-Marxist. Dimana masyarakat mengalami tekanan dengan
pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Soeharto. Membuka kesadaran
dikalangan masyarakat Indonesia, yakni dikalangan mahasiswa dimana kaum-kaum
intelektual pada saat itu merasakan bahwa Soeharto hanya berusaha demi
kepentingan-kepentingan pribadi yang ingin dicapainya. Dalam teori Post-Marxist
yang sebenarnya kelanjutan dari teori Marxist, memang ada beberapa dari
pemikiran-pemikiran Marx yang di tolak oleh para pemikir teori Post-Marxist,
yakni bagaimana menurut Marxist bahwa konflik pertentangan hanya terjadi pada
dua kelas, kapitalis dan buruh. Namun menurut para Post-Marxist bahwa konflik
tersebut tidak hanya pertentangan kelas, karena akan ada kontradiksi sosial
yang baru yang akan muncul dan menyebabkan gerakan sosial yang baru yang memiliki
identitas diri yang sama dan mereka merasa sebagai sebuah sosok yang sama.
Ketika cita-cita mereka dihalangi, maka mereka akan berusaha untuk melawan,
tentunya mereka akan mengumpulkan orang-orang yang merasa terhalangi
cita-citanya dan bersatu untuk melawan apa yang menghalangi pencapaian
cita-cita masa depan mereka yang ideal tersebut.
Teori Post-Marxist
tersebut bisa didukung dengan yang terjadi dimasa Rezim Soeharto, dimana
gerakan sosial baru muncul yakni gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa pun terus
melebarkan kepakan sayapnya dengan mengajak seluruh mahasiswa Indonesia untuk
melawan, melalui diskusi-diskusi yang dilakukan, bahkan gerakan mashasiswa juga
berjuang bersama masyarakat dimana para mahasiswa berusaha memperkenalkan
politik identitas dengan paham back to
the root (kembali kepada akar) dimana gerakan mahasiswa dengan masyarakat
merupakan bangsa Indonesia yang telah berjuang bersama-sama ketika mengusir
penjajah. Membangun nilai-nilai perjuagan agar semua masyarakat bersatu untuk
melawan Rezim Soeharto. Fenomena tersebut sangat tepat dirasakan oleh penulis
ketika diulas denga Teori Post-Marxist.
DAFTAR PUSTAKA
Capraso, James. A dan David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Mandel, Ernest, Tesis-Tesis Pokok Marxisme, Resist Book: Yogyakarta, 2006.
Narwoko, J.
Dwi & Bagong Suyanto, SOSIOLOGI: TEKS PENGANTAR & TERAPAN,
Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2007.
Pamungkas, Sri-Bintang, Dari Orde Baru ke Indoensia Baru lewar Reformasi Total, Penerbit
Erlangga: Jakarta, 2001.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana Prenada
Media Group: Jakarta, 2003.
Widjojo, Muridan. S, Penakluk Rezim Orde Baru, Gerakan Mahasiswa 1998, Pustaka Sinar
Harapan: Jakarta, 1999.
Sumber Internet:
http://taufandamanik.wordpress.com/2010/07/27/post-marxisme-tanpa-apologi-reformulasi-ernesto-laclau-dan-chantal-mouffe-terhadap-teori-marxis/, diakses pada Rabu, 22 Mei 2013, Pukul:
07.10 WIB.
[1] Sri-Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat
Reformasi Total, Penebit Erlangga, Jakarta, 2001, Hlm. xi
[2] George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam,
Prenada Media Group, Jakarta: Kencana 2008, Hlm 31
[3] James A. Coparaso dan David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2008, Hlm. 157-158
[4] George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam,
Prenada Media Group, Jakarta: Kencana 2008, Hlm.
[5] Taufan Damanik, Post-Marxist Tanpa Apologi: Reformulasi Ernesto Laclau dan Chantal
Mouffle terhadap Teori Marxist. Terambil dari internet, http://taufandamanik.wordpress.com/2010/07/27/post-marxisme-tanpa-apologi-reformulasi-ernesto-laclau-dan-chantal-mouffe-terhadap-teori-marxis/, diakses pada Rabu, 22 Mei 2013, Pukul:
07.10
[6] Sri-Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat
Reformasi Total, Penebit Erlangga, Jakarta, 2001, Hlm. 249
[7] J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan,
Prenada Media Group, Jakarta: Kencana, 2007, Hlm. 118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar