Analisis Teori Marxist dan Post-Marxist terhadap Konflik (Studi Kasus: Pelanggaran HAM di Masa Orde Baru)

Menganalisa Konflik pada Fenomena Orde Baru dengan Teori Marxist dan Teori Post-Marxist
(Studi Kasus: Gerakan yang muncul menjatuhkan Rezim otoriter Soeharto terhadap pelanggaran HAM pada masa Orde Baru) 



Departemen Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Medan 2013




DAFTAR ISI
BAB I     : PENDAHULUAN................................................................................................................ 1
                                
LATAR BELAKANG............................................................................................................................ 1
                                
RUMUSAN MASALAH...................................................................................................................... 2


BAB II    :PEMBAHASAN................................................................................................................... 3
                                
TEORI MARXIST................................................................................................................................. 3
                                
TEORI POST-MARXIST........................................................................................................................6
                                
FENOMENA DI MASA ORDE BARU................................................................................................ 7
                                
ANALISA TEORI TERHADAP FENOMENA ORDE BARU..........................................................10


BAB III : PENUTUP............................................................................................................................13
                                KESIMPULAN....................................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................14





BAB I
Pendahuluan
1. Latar belakang
                Tepatnya pada tahun 1998, Indonesia mengalami sebuah pergolakan yang besar, dimana jatuhnya sebuah rezim otoriter yang berkuasa pada saat itu (1966-1998). Rezim otoriter tersebut berada dibawah pemerintahan Soeharto sebagai presiden RI. Kekuasaan Presiden Soeharto semasa Orde Baru terasa sangat absolut.
                Pemerintahan Orde Baru yang menekan dan membelenggu masyarakat menimbulkan kejenuhan dalam benak. Kejenuhan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru telah memunculkan berbagai gerkan-gerakan sosial  masyarakat terutama di kalangan mahasiswa. Gerakan-gerakan tersebut terus mendesak pemerintahan otoritarian Soeharto dan akhirnya berujung pada kejatuhan rezim Orba. Dapat kita lihat bahwa Orde Baru memiliki tekad dan janji yakni ingin melaksanakan kedaulatan rakyat dimana dilaksanakan antara lain melalui pengawasan oleh pengawasan  oleh rakyat di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), kehidupan partai dijamin karenan rakyat berhak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran. Partai Politik adalah untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat dan pendidikan rakyat dalam melaksanakan demokrasi dan hak-hak politik, Partai Politik perlu mendapat dukungan yang luas dan riil dari rakyat, pemilihan umum sebagai barometer kemampuan bangsa dalam menyalurkan aspirasi dan pelaksanaan demokrasi. Namun janji Orde Baru itu tidak dilaksanakan, bahkan dilanggar sendiri oleh penyelenggara kekuasaan negara.[1]
                Tentunya dalam kejadian gerakan-gerakan sosial yang muncul di dalam masyarakat menjelaskan bahwa terjadinya sebuah konflik antar penguasa dengan yang tertindas, yang notabenenya adalah masyarakat Indonesia dimana mengalami tekanan oleh kekuasaan absolut Soeharto. Jelas seperti yang dikatakan oleh Marxist bahwa manusia akan melakukan perlawanan jika berada di dalam tekanan terus menerus. Menyebabkan pergolakan terjadi didalam masyarakat yang ingin melawan kekuasaan absolut Soeharto. Menurut penulis, munculnya gerakan baru seperti gerakan mahasiswa membuktikan apa yang dikatakan oleh teori Post-Marxist bahwa akan munculnya gerakan-gerakan sosial baru, kontradiksi antar kelas (borjuis dan proletariat) seperti yang dikatakan Marxist bahwa konflik hanya terjadi antar dua kedua kelas tersebut yang bertentangan.
                Memilih Orde Baru bagi penulis sangat menarik untuk melihat konflik yang terjadi antara pemerintahan dengan masyarakatn dengan analisa teori Marxist dan teori Post-Marxist. Disatu sisi, pertentangan antara dua kelas Kapitalis dan Buruh menurut Marxist, juga penulis pahami dengan melihat Negara atau pemerintahan dibawah kekuasaan Soeharto yang otoriter sama halnya seperti Kapitalis dan masyarakat yang tertindas oleh kekusaan otoriter Soeharto sebagai kelas buruh. Sebaliknya, di masyarakat yang bisa kita anggap sebagai kelas buruh yang tertindas, muncul berbagai gerakan-gerakan sosial baru, yang mana ini juga menyinggung teori Post-Marxist bahwa kontradiksi kelas tidak lagi merupakan satu-satunya konflik.
2. Rumusan Masalah
                Berdasarkan fenomena yang terjadi pada masa orde baru, penulis memberikan pembatasan masalah hanya pada fenomena pelenggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru, sehingga yang menjadi rumusan masalah yang diangakat dalam makalah ini adalah “apa yang menyebabkan gerakan di masyarakat untuk menjatuhkan Rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto?”.









BAB II
Pembahasan
1. Teori Marxist
Dipengaruhi oleh pecerahan, ketika Marx dilahirkan ketika masa Revolusi Industri di mana terjadi penindasan oleh kapitalis. Marx menawarkan sebuah teori tentang  masyarakat kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat mendasar manusia, ia yakin bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk produktif, artinya untuk bertahan hidup manusia perlu didalam dan dengan alam. Ia ingin mengembangkan sebuah teori yang dapat menjelaskan penindasan tersebut dan yang dapat membantu merobohkan sistem kapitalis itu. Perhatiannya tertuju kepada revolusi, yang bertolak belakang dengan perhatian sosiolog konsevatif yang menginginkan reformasi dan perubahan secara tertib.[2]
Pemikiran Marx berpusat pada struktur kapitalisme dan dampak penindasannya terhadap buruh secara politis perhatiannya tertuju pada upaya untuk membebaskan manusia dari penindasan srtuktur kapitalisme.
Kapitalis merupakan adalah sebuah struktur yang memisahkan seseorang individu dan proses produksi, produk yang diproses dan orang lain; dan akhirnya juga memisahkan diri individu itu sendiri (konsep alienasi). Alienasi terjadi karena kapitalis telah berkembang menjadi sistem dua kelas di mana sejumlah kecil kapitalis menguasai proses produksi, produk dan jam kerja dari orang yang bekerja untuk mereka. Analisis kelas yang dikatakan oleh Marx terdapat di dalam buku yang ia tulis yang berjudul Communist Manisfesto yang terdapat ungkapan dari Marx dan Engels bahwa “sejarah dari semua bentuk masyarakat yang eksis sampai sekarang adalah sejarah tentang perjuangan kelas”.
                Orang bebas dan budak, orang terpandang dan rakyat jelata, tuan tanah dan hamba sahaya, penguasa guilda dan pengangguran – dengan kata lain, penindas dan yang tertindas, berdiri dalam oposisi konstan satu sama lain membawa dalam dirinya semangat perlawanan, kadang tersembunyi kadang terbuka, dan setiap kali berakhir entah dalam bentuk penginstitusian-ulang revolusioner masyarakat luas, atau hancurnya kelas-kelas yang melawan (Marx dan Engels: 1976, hal. 482).
                Berdasarkan pandangan tersebut, analisis kelas merupakan sebuah perjuangan kelas dimana ini adalah analisis yang bertitik tolak dari keyakinan bahwa perlawan kelas telah melandasi fakta yang genting kehidupan sosial sejak dulu hingga sekarang. Utamanya ia menyoroti basis dan mekanisme perlawanan, karakter para pahlawannya (protagonis), bentuk-bentuk perlawanannya, penyebab-penyebab bagi perbedaan-perbadaan bentuk perlawanan ini dari periode ke periode di dalam tubuh masyarakat mana pun dan di antara sesama masyarakat itu sendiri, konstruksi-konstruksi ideologis yang di bawahnya pelawanan dilakukan, dan pertanyaan-pertanyaan lain sejenis yang fungsinya adalah memberi kita pencerahan terhadap ragam segi kehidupan sosial dan proses-prosesnya.
                Protagonis dalam perjuangan kelas adalah pemilik alat-alat produksi di satu sisi dan produsen di sisi lain, dan para protagonis ini terperangkap dalam  sebuah konflik yang inheren, sudah ditentukan secara struktural, dan implisit dalam eksistensi mereka di sepanjang rantai proses produksi. Para pemilik tak mau didorong untuk mengupayakan pemanfaatan sejumlah besar tenaga kerja, dan yang paling mungkin dilakukannya adalah dengan mengumpulkan para produsen bebas, sedangkan para produsen dengan cara yang sama juga didorong untuk memperjuangkan  pemanfaatan jumlah tenaga kerja yang boleh mereka berikan, dan sebisa mungkin berproduksi sendiri dalam kondisi yang memungkinkan. Begitu pentingnya titik berat Marx kepada relasi pemilik dan produsen bagi keseluruhan pengorganisasian dan kehidupan masyarakat ini, disuarakannya dengan gamlang di dalam kalimat lain yang terkenal dengan Das Kapital.
Di setiap kasus selalu terdapat hubungan langsung antara pemilik kondisi-kondisi produksi dengan para produsen di dekatnya ... di dalamnyalah kita menemukan rahasia terdalam, basis tersembunyi, bagi seluruh bangunan sosial, dan kemudian, bentuk politisi hubungan kekuasaan dan ketergantungan. (Marx: 1981, hal. 927 – dikutip melalui buku: George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Prenada Media Group, Jakarta: Kencana 2008).
                Pada esensinya, hubungan pemilik dengan produsen adalah satu dari sekian eksploitasi yang ada, sebuah istilah yang memiliki konotasi normatif sangat kuat. Namun, istilah ini juga bisa dipakai dalam pengertian teknis untuk menunjukkan  bahaya dari surplus tenaga kerja dan pengalokasian surplis produk apabila produsen tidak dikendalikan dalam sebuah proses produksi di mana produsen sendiri juga tidak memiliki kemampuan mengendalikan. Eksploitasi jelas tidak asing bagi kapitalisme, seperti yang dicatat Marx, sifat-sifat yang berkaitan dengan proses ekploitasi disebut dominasi (Marx juga mencatat  yang membedakan pembentukan ekonomi masyarakat) – contohnya pemilhan antara masyarakat yang berbasis tenaga kerja budak dan masyarakat yang berbasis  tenaga kerja upah – adalah sistem yang di dalamnya surplus tenaga kerja dilepaskan dari produsen langsungnya, para pekerja (Marx: 1976, hal. 325).
Modal tidak pernah menciptakan surplus tenaga kerja. Kapan pun salah satu bagian masyarakat memiliki kemampuan monopoli alat-alat produksi , maka pekerja, entah yang bebas atau tidak, harus menambahkan waktu-kerja yang sebenarnya diperlukan demi pemeliharaan dirinya sebagai waktu-kerja yang dipakai untuk mendukung kelangsungan hidup pemilik alat-alat produksi. (Marx: 1976, hal. 344 dikutip dari buku: George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Prenada Media Group, Jakarta: Kencana 2008)
                Sebagai sebuah teori, Marxisme menelaah pertentangan  yang terjadi antar berbagai pemikiran mengenai tindakan yang harus dilakukan agar sebuah masyarakat dapat tertata dengan baik. Maka pertarungan antar kelas antar kapitalis dan buruh  harus dipahami dengan baik, dimana dua pandangan yang bertolak belakang tentang aspirasi mana yang harus dianggap universal. Apakah kapitalis benar-benar mengeksprsikan aspirasi manusia yang mendasar yaitu untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri dan mengejar kekayaan? Apakah dalam artian kapitalisme dapat dikatakan selaras dengan semua keinginan anggota masyarakat dan juga sekaligus selaras denga kepentingan kapitalis dalam artian kepentingan pribadi? Atau sebaliknnya, yaitu bahwa situasi material dari para pekerja membuat para pekerja ini memiliki etika komunal dan egalitariann yang lebih selaras dengan kepentingan universal dari umat manusia?
                Salah satu cara yang digunakan Marx untuk menjawab persoalan tersebut adalah dengan menggunakan argumen polarisasi. Kalau argumen ini benar, maka kapitalis akan cenderung untuk membuat orang makin banyak dalam masyarakat sipil memiliki kondisi kehidupan yang sama, yaitu kondisi di mana orang-orang itu tidak mempunyai apaun untuk dijual kecuali tenaga mereka sendiri.[3]


2. Teori Post-Marxist
                Munculnya teori ini disebabkan oleh penolakan terhadap berbagai premis dasar dari teori asli Marx maupun premis dasar teori Neo-Marxian. Sehingga pendekatan baru ini harus dianggap sebagai teori Post-Marxis (Wright, 1987; Dandaneau, 1992). Walau teori ini menolak unsur-unsur dasar teori Marxian, namun masih mempunyai afinitas yang cukup dengan teori Marxian karena dianggap menjadi bagian teori Marxian. Teori Post-Marxian sering  menggunakan sintesis teori-teori Marxian dengan teori, gagasan, dan metode lain. Ada dua kumpulan faktor yang terlibat: Pertama, faktor eksternal teori itu dan yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan sosial. Kedua, faktor internal teori itu sendiri (Anderson, 1984; Ritzer, 1991).
                Post-Marxis merupakan penafsiran ulang pemikiran Marx menurut persyaratan intelektual yang lebih konvensional, suatu upaya untuk menerapkan teori pilihan rasional terhadap masalah-masalah Marxian dan upaya meneliti topik-topik Marxian dengan menggunakan metode dan teknik ilmu pengertahuan positivisme. Seperti yang dikatakan Meyer bahwa “meningkatkan kerendahan hati terhadap kaidah ilmu pengetahuan konvensional sama artinya dengan mengurangi kataatan terhadap teori Marxis itu sendiri” (1994).[4]
                Pada dasarnya penulis mengalami kebingungan dengan pemahaman mengenai defenisi teori Post-Marxist, namun berdasarkan bahan bacaan bersumber dari Post-Marxist Tanpa Apologi: Reformulasi Ernesto Laclau dan Chantal Mouffle terhadap Teori Marxist tulisan Bapak Taufan Damanik. Yang menjelaskan bahwa ada tiga hal mendasar yang disamapaikan oleh Lactau dan Mouffle, dimana mereka begerak melibihi apa yang telah Marx konsepkan yakni hal tersebut adalah sebuah teori atau dikatakan sebagai linguistik dan non-lingusitik (realita) dalam pemikiran analitik, boleh disertakan dalam maksud membandingkannya. Yakni fakta keduanya bahwa keduanya adalah bagian dari operasi keseluruhan. Hak tersebut dipahami sebagai diskursus yang merupakan totalitas yang mengikutsertakan linguistik itu sendiri dan tindakan-tindakan non-linguistik oada sebuah sistem hubungan; kemudian Laclau dan Mouffle mengkritisi ekonomi determinisme ekonomi Marxisme sebagai konsep yang tidak lengkap dan percaya bahwa gerakan anti kapitalis tidak hanya sebuah hasil dari pertentangan diantara hubungan buruh-modal. Terdapat  berbagai alternatif yang luas menyangkut pertentangan itu; mereka berpendapat bahwa pertentang itu terbentuk diantara hubungan produksi dan suatu di luar itu. Pola dan intensitas pertentangan tergantung, karena itu, kepada suatu yang lebih luas, dimana aktor sosial dibentuk di luar hubungan-hubungan produksi. Jadi, kemungkinan memperdalam perjuangan anti kapitalis itu sendiri bergantung kepada hal-hal di luar revolusi demokratik.[5]


3. Fenomena di Masa Orde Baru
                Dari tahun 1966 hingga 1998 Indonesia mengalami kekuasaan yang absolut ataupun otoriter, di mana bangsa Indonesia merasakan kekuatan pemerintahan yang sangat kuat dalam pelaksanaanya, kuat di sini diartikan bahwa legitimasi yang dimiliki pemerintahan pada masa itu benar-benar berjalan tanpa ada hubungan timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat yang baik, sehingga kekuasaan tersebut cenderung disalah gunakan. Masa tersebut kita kenal dengan nama Rezim Orde Baru, yang berada di bawah pimpinan Presiden Soeharto.
                Oleh karen itu, terdapat beberapa fakta pelanggaran HAM Orde Baru. Pelanggaran HAM Orde Baru dikategorikan sebagai crime against humanity yang korbannya adalah masyarakat atau kelompok masyarakat.[6]
                Peristiwa G.30.S/1965, tanggal 1 Desember 1975 pemerintah Soeharto mengumumkan pelepasan 1.300 tahanan politik yang terkait dengan PKI. Pemerintah Soeharto mengakui ada 35 ribu orang yang di tuduh terlibat usaha kudeta September 1965. Mereka dipenjara sebagai tahanan politik dengan tidak mengenal batas waktu dan tanpa proses pengadilan. Setahun setelahnya  itu ada 2.800 orang lainnya di lepas. Kemudian 11.800 orang di lepas pada tahun 1977, dan 16.500 orang pada tahun 1978, dan tahun 1979 adalah tahun terakhir pelepasan besar-besaran. Setelah peristiwa 30 September 1965, dibentuklah Kompkamtib (Komando Operasi Pemulihan keamanan dan Ketertiban) dengan tugas membatas komunis. Masyarakat yang terlibat secara langsung  dengan PKI dan organisasi mantelnya, harus ditangkap atau bila perlu membunuh mereka. Diperkirakan tidak kurang dari satu juta masyarakat sipil yang disangka pengikut komunis mati dibunuh, baik melalui operasi militer, atau kelompok masyarakat non-komunis yang terprovokasi oleh operasi militer. Mereka yang ditangkap adalah penduduk biasa, pegawai negeri dan anggota tentara  dari segala tingkatan dan bagian. Klasifikasi  yang sangat lentur tanpa petunjuk  pelaksanaan sehingga para komandan tentara lokal mempunyai kekuasaan yang tak terbatas didaerahnya masing-masing. Mereka mutlak mempunyai kekuasaan untuk menangkap, menyita, merampas, memenjarakan, bahkan membunuh siapa saja yang dicurigai.
                Perang timor-timur, pasukan-pasukan Indonesia menyerang garnisum di Timor-Timur. Invasi TNI besar-besaran di Dili dimulai pada tanggal 1975, sebagai pembalasan terhadap perlawanan kelompok (milisi). UDT yang menyebabkan invansi Indonesia itu. Banyak orang Timor lari ke gunung-gunung sebagai akibat kebrutalan Indonesia dalam invasi dan mereka menetap disana. Dibutuhkan empat tahun oleh tentara  Indonesia dengan operasi militer besar untuk menguasai “orang-orang gunung” itu. Di dalam empat tahun banyak sekali terjadi kematian, terutama disebabkan oleh kelaparan dan penyakit. Angka kematian 200 ribu orang Timor-Timur (sekitar sepertiga penduduk). Juga semenjak Desember 1979, Indonesia menggunakan bom napalm hingga hampir semua yang ada di gunung-gunung menyerah.
                Gerakan Aceh Merdeka, Teuku Hasan Tiro sebetulnya sudah mengklaim keberadaan Republik Islam Aceh pada sekitar pertengahan  1950-an, yaitu semasa Hasan Tiro masih menjadi  mahasiswa di Amerika Serikat. Semenjak itu pertentangan antara pemerintah Jakarta dan kelompok-kelompok pengikut Hasan Tiro di Aceh terus berlangsung. Pemerintah di bawah pemerintahan rezim Soeharto tidak menginginka gerakan yang mengarah kepada separatisme. Oleh karena itu, sejak 1989 dinyatakanlah berlakunya Daerah Operasi Militer (DOM) disana. Dimulailah aksi penumpasan terhadap Gerakan Aceh Medeka (GAM). Operasi militer membabi buta  dan dilakukan tanpa henti dengan menangkapi orang-orang disertai  dengan pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penculikan. Selam 8-9 tahun masa DOM rakyat Aceh hidup dalam ketakutan, siapa saja yang dicurigai anggota GAM akan segera ditangkap dan tidak akan pernah pulang.
                Organisasi Papua Merdeka, Yakob Rumbiak merupakan yang yakin bahwa Irian Barat bukanlah bagian dari Indonesia. Oleh karena itu, ia tuntut tidak dengan kekerasan, tetapi hanya memimpin perayaan ulang tahun kemerdekaan Papua, dan oleh karena itu pula, ia harus menebusnya dengan kebebasannya. Menurut Yakob, Soeharto menjalankan sistem kapitalisme di Irian. Wilayah yang kaya raya itu hanya untuk  kepentingan segelintir orang pemerintah saja. Sedangkan yang miskin semakin menderita, PT. Freeport Indonesia itu memanfaatkan sumber daya Irian. Seharusnya hasilnya bisa untuk kemakmuran rakyat, ternyata tidak. Bahkan Freeport menjadi sumber pemicu pelanggaran HAM, karena yang dilakukan Freeport adalah membayar pemerintah dan militer Indonesia untuk merampas tanah rakyat. Kalau rakyat tidak mau, mereka diintimidasi, diusir dari tanahnya dan banyak yang kemudian dibunuh pula.
                Jakarta Menumpas Islam, terjadi kesenjangan aparat yang dinilai menghina kesucian sebuah masjid di Tanjung Priok untuk memicu tindakan kekerasan militer terhadap sejumlah orang ditangkap dan di adili, seperti Abdul Qadir Djaelami dan KH. Mawardi Noor. Buntut peristiwa Priok berlanjut dengan penangkapan  terhadap Letjen (Purn.) Hr. Dharsono, HM, Sanochi, AM. Fatwa dan Tasrif Tuas Mal, karena menerbitkan Lemabaran Putih Peristiwa Priok, dan tindakan perencanaan pemboman terhadap kantor cabang Bank Central Asia di Jakarta. Mereka di jatuhi hukuman penjara antara 5-17 tahun penjara. Di Lampung juga terjadi, yakni ketika penangkapan orang-orang seperti Fauzi Iman, Darsono,  Nur Hidayat, dan Wahidin di tuduh telah bersekongkol untuk mendirikan negara Islam Indonesia. Padahal yang dilakukan mereka adalah niatan untuk mendirikan Islamic Village dengan mencoba untuk hidup dari hasil pertanian yang mereka oleh di sebidang lahan di Desa Talangsari di Lampung. Mereka ditangkap dan di bawa ke penjara setelah disiksa di markas TNI. Fauzi Isman di vonis 20 tahun penjara bersama belasan lainnya juga dipenjara ada 8 orang bahkan ada orang yang dihukum seumur hidup, beberapa diantaranya di Pulau Nusa Kambangan.
                Menghilangnya Orang, 23 Mei 1998 (dua hari setelah Soeharto mudur) ditemukan jenaza Gilang seorang pengamen jalanan yang berusia 24 tahun. Di dada Gilang terdapat sebuah luka yang kemungkinann besar berasal dari sebuah tembakan senjata api. Selain Gilang ada 12 aktivis yang hilang tidak ketahuan dimana keberadaanya. Sangat mungkin diculik sebagaimana terjadi pada beberapa aktivis pro demokrasi yang sempat kembali dari tempat penculikannya. Nezar Patria, salah seorang dari mereka  yang diculik. Neza tidak sendiri, pada saat itu juga ia beserta Aan di bawa masuk mobil, dan kedua mata masing-masing di tutup  dengan kain hitam, tangan mereka juga diborgol. Mereka di bawa masuk ke dalam ruangan, ternyata di dalam ruangan telah banyak orang, termasuk aktivis lainnya yang di culik juga. Nezar diinterogasi, karena tidak mengaku, Nezar mendapat pukulan keras di rahangnya beberapa kali, lalu di tendang di bagian  dadanya, hingga tak berdaya lagi. Dalam keadaan setenga sadar Nezar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para penculik. Namun penyiksaan terus berlanjut, dengan kejutan listrik, siksaan seperti tendangan dan pemukulan bahkan ia pernah di sumpal dengan tumit sepatu hingga bibirnya pecah. Pada tanggal 15 Maret 1998, Nezar diberitahukan bahwa dia bukan target penculiknya itu. Nezar dan dua orang korban lainnya di bawa ke Polda Metro Jaya untuk diserhakan  dan diperiksa secara resmi polisi dengan tindakan melakukan tindakan subversi.
4. Analisisa teori
                Orde Baru bisa dikatakan sebuah gambaran bagaimana hidupnya dua kelas yakni yang berkuasa dengan yang tertindas. Bagaimana penulis bisa menyatakan hak demikian?. Dikarenakan Rezim Orde Baru mengimplemantasikan bagaimana seseorang/kelompok orang menggunakan kekuasaan yang legal melalui pemilu 1955, dimana Soeharto terpilih sebagai presiden kedua Indonesia setelah Soekarno dengan kekuasaan yang absolut yang dijalankan oleh Soeharto. dimana diatas telah diungkap bagaimana Soeharto dapat dipandang sebagai kelas kapitalis dimana dia juga sebagai aktor negara/pemerintahan memananfaatkan kekuasaan sebagai Presiden Indonesia untuk menjalankan kekuasaannya dengan semena-mena, dan bahkan dia  mengumpulkan kekuasaan itu dengan membuat masyarakat tertindas oleh kepentingan-kepentingan yang ia kejar.
                Berdasarkan teori Marxist, penulis berusaha untuk menghubungkan fenomena yang terjadi pada Rezim Orde Baru dengan teori yang dikemukakan oleh Marxist. Marrx mengatakan bahwa negara memiliki hubungan dengan kapitalis dalam mengakumulasi modal, didalam fenomena orde baru, modal itu adalah kepentingan (kekuasaan). Namun, didalam orde baru negara itu sendiri dipakai oleh Soeharto sebagai menjadikannya kelas kapitalis, atau sebaliknya kapitalis itu negara. Dimana legitimasi negara digunakan Soeharto untuk memperkuat kekuatan politik dan ekonominya, tentu itu untuk kepentingannya sendiri. Ia melakukannya dengan membuat kebijakan-kebijakan, terutama dalam hal perjanjian luar negeri. Soeharto berusaha meyakinkan kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa ia akan menjalankan pembangunan infrastruktur, politik dan perekonomian Indonesia dengan bekerja sama dengan negara asing dan perusahaan-perusahaan internasional guna menerima bantuan/pinjaman modal dari negara asing. Namun pada kenyataannya, bukannya memanfaatkan modal bantuan itu untuk kepentingan rakyat, malah Soeharto memperkaya dirinya dengan mengkorupsi semua modal pinjaman yang diperolah dari asing. Tentunya, karena tindakan Soeharto tersebut, secara tidak langsung Soekarno melakukan eksploitasi terhadap hak-hak rakyat untuk hidup sejahtera. Seperti halnya yang dikatakan oleh Marx, bahwa kaum kapitalis akan terus mengeksploitasi sumber kekayaan, dimana kaum kapitalis terus mengeksploitasi tenaga buruh tanpa memperhatikan kesejahteraan buruh, dan Marx melihat masyarakat dibentuk pertama kali dari dua kelompok dengan pertentangan kepentingan ekonomi: kelompok borjuis dan proletariat. Kelompok borjuis adalah kelas penguasa/pemegang peraturan – mereka adalah orang-orang kaya/makmur yang mengontrol sarana/alat-alat produksi-ekonomi, memiliki pengaruh besar pada lembaga-lembaga ekonomi dan politik masyarakat, serta memiliki jatah kekuasaan untuk melayani kepentingan mereka. Disisi lain, proletariat diatur, mereka bekerja secara tereksploitasi oleh kaum borjuis[7]
                Tentunya karena terus menerus mengalami tekanan oleh pemerintahan Soeharto, denga tidak memperhatikan kepentinga rakyat Indonesia, bahkan Soeharto melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM. Dimana banyak masyarakat sipil disiksa dan dibunuh. Tindakan keras yang dilakukan oleh Soeharto adalah karena ketakutannya terhadap gerakan-gerakan separatisme. Ketika terjadi peristiwa G.30.S/1965, Soeharto membentuk Komkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) guna memberantas komunisme. Ia memerintahkan untuk mengungkapkan siapa saja yang terkait secara langsung atau tidak langsung denga PKI, bila perlu membunuh mereka. Klasifikasi yang lentur dan tanpa disertai pentunjuk pelaksanaan yang tak menangkap, bahkan membunuh siapa saja yang dicurigai.
                Kondisi pelanggaran HAM tersebut tentu menyebabkan bangsa Indonesia bangkit untuk melawan Rezim Soeharto. dengan melakukan demonstrasi besar-besaran, dimana pada saat itu mahasiswa yang berusaha untuk membangun opini publik agar bangsa Indonesia bangkit melawan dan menuntut Soekarno turun.
                Bangkitnya bangsa Indonesia untuk melawan Rezim Orde Baru juga dijelaskan oleh teori Marx bahwa, orang yang berada dibawah tekanan terus menerus akan melakukan perlawanan untuk memperoleh hak-hak mereka.
                Secara keseluruhan bahwa penulis melihat terjadinya tekanan dari penguasa terhadap masyarakat. Penguasa menggunakan kekuasaanya untuk memperkuat kekuasaanya bahkan dengan melanggar HAM, menyebabkan masyarakat bangkit untuk melawan. Sama hal seperti yang dikatakan oleh Marx bahwa ada dua kelas yang bertentang, yakni kapitalis dengan buruh. Dimana kapitalis mengeksploitasi buruh dengan keterampilan mereka menghasilkan produk-produk kapitalis dengan harga tinggi, namun kapitalis tidak menjamin kesejahteraan buruh. Dan kapitalis cenderung untuk mengakumulasi kekayaan mereka.
                Berdasarkan pandangan Post-Marxist, diman penulis mengambil penjelasan teori Post-Marxist yang dikemukakan oleh Lactau dan Mouffle bahwa terjadinya kontradiksi sosial baru, pertentangan bukan lagi perjuangan kelas. Karena akan muncul gerakan-gerakan sosial baru.
                Konlflik yang terjadi di pemerintahan orde baru merupakan pertentangan antara pemerintah yang berkuasa denga masyarakat. Bila ditinjau dengan teori Post-Marxist, didalam konflik tersebut muncul gerakan mahasiswa seperti yang dikatakan oleh Laclau dan Mouffle bahwa akan muncul gerakan sosial baru. Penulis menekankan pada gerakan mahasiswa sebagai gerakan sosial baru yang muncul akibat dari pemerintahan Soeharto, dimana menghalangi kepentingan mahasiswa pada saat itu, untuk bebas berbicara didepan umum berkenaan dengan politik. Juga terjadi ketidakbebasan terhadap Rezim Orde Baru dan hak-hak tidak diterima oleh rakyat. Maka mahasiswa membangun sebuah kesadara antara sesama mahasiswa dimana mereka memiliki rasa yang sama, juga membangun kesadaran terhadap masyarakat diamana kesejahteraan mereka tidak diberikan oleh rezim Soeharto, argumen mahasiwa dengan masyarakat berbeda, namun itu bisa dibangun karena dihalangi oleh satu musuh yakni Rezim Orde Baru.








BAB III
Penutup
Kesimpulan
                Pada bagian kesimpulan ini, penulis ingin melihat fenomena di masa Orde Baru dengan teori Post-Marxist. Dimana masyarakat mengalami tekanan dengan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Soeharto. Membuka kesadaran dikalangan masyarakat Indonesia, yakni dikalangan mahasiswa dimana kaum-kaum intelektual pada saat itu merasakan bahwa Soeharto hanya berusaha demi kepentingan-kepentingan pribadi yang ingin dicapainya. Dalam teori Post-Marxist yang sebenarnya kelanjutan dari teori Marxist, memang ada beberapa dari pemikiran-pemikiran Marx yang di tolak oleh para pemikir teori Post-Marxist, yakni bagaimana menurut Marxist bahwa konflik pertentangan hanya terjadi pada dua kelas, kapitalis dan buruh. Namun menurut para Post-Marxist bahwa konflik tersebut tidak hanya pertentangan kelas, karena akan ada kontradiksi sosial yang baru yang akan muncul dan menyebabkan gerakan sosial yang baru yang memiliki identitas diri yang sama dan mereka merasa sebagai sebuah sosok yang sama. Ketika cita-cita mereka dihalangi, maka mereka akan berusaha untuk melawan, tentunya mereka akan mengumpulkan orang-orang yang merasa terhalangi cita-citanya dan bersatu untuk melawan apa yang menghalangi pencapaian cita-cita masa depan mereka yang ideal tersebut.
                Teori Post-Marxist tersebut bisa didukung dengan yang terjadi dimasa Rezim Soeharto, dimana gerakan sosial baru muncul yakni gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa pun terus melebarkan kepakan sayapnya dengan mengajak seluruh mahasiswa Indonesia untuk melawan, melalui diskusi-diskusi yang dilakukan, bahkan gerakan mashasiswa juga berjuang bersama masyarakat dimana para mahasiswa berusaha memperkenalkan politik identitas dengan paham back to the root (kembali kepada akar) dimana gerakan mahasiswa dengan masyarakat merupakan bangsa Indonesia yang telah berjuang bersama-sama ketika mengusir penjajah. Membangun nilai-nilai perjuagan agar semua masyarakat bersatu untuk melawan Rezim Soeharto. Fenomena tersebut sangat tepat dirasakan oleh penulis ketika diulas denga Teori Post-Marxist.

DAFTAR PUSTAKA
Capraso, James. A dan David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008.
Mandel, Ernest, Tesis-Tesis Pokok Marxisme, Resist Book: Yogyakarta, 2006.
Narwoko, J.  Dwi & Bagong Suyanto,  SOSIOLOGI: TEKS PENGANTAR & TERAPAN, Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2007.
Pamungkas, Sri-Bintang, Dari Orde Baru ke Indoensia Baru lewar Reformasi Total, Penerbit Erlangga: Jakarta, 2001.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2003.
Widjojo, Muridan. S, Penakluk Rezim Orde Baru, Gerakan Mahasiswa 1998, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1999.
Sumber Internet:




[1] Sri-Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total, Penebit Erlangga, Jakarta, 2001, Hlm. xi
[2] George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Prenada Media Group, Jakarta: Kencana 2008, Hlm 31
[3] James A. Coparaso dan David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, Hlm. 157-158
[4] George Ritzer – Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Prenada Media Group, Jakarta: Kencana 2008, Hlm.
[5] Taufan Damanik, Post-Marxist Tanpa Apologi: Reformulasi Ernesto Laclau dan Chantal Mouffle terhadap Teori Marxist. Terambil dari internet, http://taufandamanik.wordpress.com/2010/07/27/post-marxisme-tanpa-apologi-reformulasi-ernesto-laclau-dan-chantal-mouffe-terhadap-teori-marxis/, diakses pada Rabu, 22 Mei 2013, Pukul: 07.10
[6] Sri-Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru lewat Reformasi Total, Penebit Erlangga, Jakarta, 2001, Hlm. 249
[7] J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, Prenada Media Group, Jakarta: Kencana, 2007, Hlm. 118









Tidak ada komentar:

Posting Komentar