HARI YANG DERITA

Gelisah, resah, dan mendesah, sesudah itu pasrah. Parah adalah ungkapan yang harusnya dimusnahkan dari keresahan, kegelisahan dan desahan-desahan tiap tarikan nafas, ungkapan hati dan buah segala pikiran yang kerap kali menenggelamkan sisa-sisa harapan di dalam jiwa ini. Pengambangan yang terjadi merusak pemandangan keindahan realitas hidup manusia yang sedang berbahagia. Niat ingin bangkit, tapi apa daya tak kuat. Namun disisa-sisa kuat ini tak membuat jiwa ini tenggelam dalam kelam. Kembali, pemandangan yang rusak membuat jiwa yang mengambang ini semakin tak berdaya. Tawa-tawa manusia yang sedang berbahagia memberi bagi jiwa yang sedang mengambang kesan-kesan bagai dua sisi pedang, tajam dan tumpul: ikut berbahagia karena senyum dan tawa mereka bagai virus yang menyebar dalam ruang, menyusupi udara, hingga mendatangi jiwa yang sedang mengambang, bagai menunggang, terbawa dan terkena virus yang terbang, setidaknya sedikit jiwa yang sedang mengambang ikut berbahagia, apakah hal ini membenarkan bahwa jiwa yang sedang mengambang benar-benar tenggelam hingga bahagiapun ia peroleh bagai pengemis yang meminta-minta sisa-sisa makanan dan remah-reamah roti; cemburu, mengapa manusia-manusia itu bernasib mujur, terbesit dalam pikirnya, jiwa yang sedang mengambang perlahan mundur, luntur. Pesonanya musnah seketika.

Berkumur mulut dan lidah jiwa yang sedang mengambang, tak ada kata syukur, semua hanya caci maki, kubur yang mencekam itulah pesona kurungan bagi jiwa yang sedang mengambang itu.

Cahaya redup perlahan diulur-ulur kepada ketiadaan cahaya. Nyatalah saat ini kelam, gelap gulita menyelimuti jiwa yang sedang mengambang itu. Adakah cahaya bagimu jiwa yang sedang mengambang? Apakah yang hendak kau perbuat hai jiwa yang sedang mengambang?

Terlalu sulitkah pertanyaan-pertanyaan ini bagimu jiwa yang sedang mengambang? Atau, kau butuh waktu untuk mengelola jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu jiwa yang sedang mengambang?

Tentu jiwa yang sedang mengambang sedang membangun sebuah ruang, ruang untuk jiwanya yang sedang mengambang itu, sebuah ruang yang harus di isi. Di isi dengan berbagai macam isian. Riskan. Jiwa yang sedang mengambang berlalu lalang, hanya ilalang yang membentang selama jiwa yang sedang mengambang berlalu lalang. Belalang tak mampu bilang kepada jiwa yang sedang mengambang tawaran lelangan akan berbagai macam isian bagi jiwa yang sedang mengambang yang sedang mencari isian bagi ruang lempang yang dia sediakan itu. Riskan. Ilalang pun melenggang. Tak tahu maksud, apakah ilalang sedang bilang: Engkau sudah hilang hingga membuat kau bimbang dan berujung gila, hai jiwa yang sedang mengambang; ataukah Engkau hendak gelang seperti selang, gelang yang terbuat dari benang, gelang seperti tulang belulang yang bisa memberi Engkau kelangsungan hidup yang bergemilang. Tapi sayang disayang, jiwa yang sedang  mengambang adalah manusia yang malang, apa yang dibilang ilalang ialah tak terbilang.

 –maksudnya ialah, mungkinkah ilalang bisa bilang? (realitas)

Semakinlah jiwa yang sedang mengambang menghilang bak ditelan bumi dan kegelapan ruang yang tak terbilang oleh ilalang dan belalang. Sudahlah ia, jiwa yang sedang mengambang hampir tenggelam, tak pelak ia, jiwa yang sedang mengambang menghilang ditelan kegelapan. Cahaya sirna. Matapun tak berdaya untuk melanjutkan pandangannya.

Riskan. Hari yang derita.

Terhitung satu persatu, dan tahukah kau, terlalu berat untuk dihitung.

Riskan. Hari yang derita, kapankah kau kan berganti!. Riskan. Jiwa yang sedang mengambang membutuhkan isian untuk ruang yang dibuatnya untuk diisikan dengan pelabagai hal isian. Apa?!

Riskan. Hari yang derita.

Semakin resah, gelisah dan mendesah. Demikianlah keluh kesah si jiwa yang sedang mengambang itu. Di hari yang derita. Menanti. Secercah cahaya menerangi, menyinari dan mengusir habis belenggu kegelapan.
 Riskan. Hari yang deria.
BY :







02 MEI 2016
Rumah tumpangan Tanjung Morawa & Perpustakaan Kota Medan
Hujan semakin menenggelamkan suasana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar