Seharusnya keberadaanmu dua, tetapi apa yang dihadirkan bagiku hanya satu saja. Maka disematkanlah aku menjadi orang cacat fisik. Aku tentu terpuruk dengan kondisi ku ini, tumbuh dalam bayang-bayang terisolasi dengan lingkungan. Aku telah melewati masa-masa sulit, hingga kini aku masih terjebak dalam bayang-bayang diri yang bukan diriku sebenarnya. Terang saja, aku berusaha untuk kelihatan sempurna. Karena aku tahu bagaimana rasanya hidup dengan pandangan mata orang-orang yang melihat aku, ada yang terkejut seolah aku ini bukan manusia, ada yang melihat dengan tatapan iba, seolah mengatakan “malangnya nasibmu”, dan yang lebih mengguncang ketika hinaan dan ejekan itu dilontarkan. Seperti ketika mereka melihat diriku ini, mereka terkejut dan kemudian berbisik satu dengan yang lain, mengerdilkan aku, aku merasa sunyi dikeramaian. Sulit, begitulah selama ini. Kemudian, ini menjadikan diriku seperti manusia yang selalu takut, takut untuk bertemu orang-orang. Seringkali, ketebatasan ini membuat aku sulit mendengar dengan baik, dan itu sangat mengganggu diriku. Aku seringkali kesulitan untuk merespon perkataan orang-orang yang sedang berbincang denganku, jujur saja, aku tidak mendengarkannya dengan baik. Maka, aku hanya terdiam terkadang, atau mengucapkan kalimat kode untuk mengulangi pernyataan mereka “aaa?!”. Itu seringkali membuat mereka tidak nyaman, karena harus mengulang kembali ucapannya, barangkali sudah tidak mood lagi kalau harus mengulang kembali. Tapi, hidup adalah misteri. Sekalipun aku sulit untuk bergaul, bukan berarti aku tidak memiliki teman. Ya, bisa dihitung, karena tidak banyak aku bisa mengakrabkan diri dengan orang-orang. Aku seringkali menjadi pendengar yang baik bagi para teman yang ingin mencurahkan isi hati mereka. Dibalik kekuranganku, aku menjadi bermanfaat sekalipun aku sulit mendengar dengan baik.
Tetapi, banyak teman yang mau bercerita kehidupannya dengan diriku. Sedikit aku bersyukur akan hal itu.
Tetapi, banyak teman yang mau bercerita kehidupannya dengan diriku. Sedikit aku bersyukur akan hal itu.
interval
Sekarang ini, media sudah begitu mudah diakses, seringkali berita bermunculan terkait orang-orang yang cacat fisik bisa menjadi sukses dalam kehidupannya. Memang, maksudnya berita mengabarkan hal tersebut agar orang yang sempurna fisik menjadi lebih bersyukur lagi dalam hidup mereka dan supaya jangan kalah dengan mereka. Bagi kami yang memiliki kekurangan fisik, mungkin supaya jangan putus asa, dan memperoleh kekuatan-kekuatan baru dari mendengar kisah mereka. “Mereka saja bisa, kenapa kalian tidak bisa”. Mungkin begitulah kalimat yang hendak disampaikan media kepada kami. Aku terbawa kepada realitas kehidupan, memang manusia hidup harus berjuang. Tanpa perjuangan, maka sampahlah manusia itu. Begitulah terbesit dibenakku. Lihatlah, hidup diantara yang terlahir sempurna fisik, yang sukses tidak semua orang yang terlahir sempurna fisik. Demikian juga dengan yang terlahir tidak sempurna, tidak semua yang terlahir tidak sempurna hidup terpuruk. Aku bingung, kenapa suasana begitu sedih ketika cerita itu bertopik terkait ketidaksempurnaan fisik. Seolah-olah ketidaksempurnaan itu membuat manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Kesedihan yang muncul ketika sebuah topik membahas seorang yang terlahir tidak sempurna merupakan kamuflase rasa pengasingan terhadap manusia yang terlahir tidak sempurna fisik. Setiap orang memiliki potensi untuk membandingkan diri terhadap orang lain, apalagi ketika berhadapan dengan orang cacat, maka akan sangat menguntungkan diri terkait dalam perbandingan diri, sebaliknya jikalau diperhadapkan dengan orang yang memiliki fisik sempurna dan terlihat lebih baik lagi, maka akan sedikit kecewa terhadap perbandingan itu.
Apakah untuk menjadi manusia yang peka dengan kehidupan orang yang tidak terlahir sempurna fisik adalah suatu kebaikan. Bagaimana jika dia hanya merasa terharu dan menangis melihat kehidupan manusia cacat ini, tanpa berbuat apa-apa. Justru yang ada adalah menambah dalamnya keterpurukan hidup yang diderita. Jujur saja, kami hanya meratapi sedihnya kehidupan yang kami alami, menerima dengan hati yang sedih segala kekurangan dalam diri kami ini. Terasingkan, itulah yang kami pikirkan.
BY :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar